Kota Kembang Merenda Rindu
Matahari mulai mengintip di sela-sela bukit, kemuningnya mulai menjilati sela-sela gerbong. Sementara para pengasong masih asik mondar-mandir menjajakan dagangannya, dua orang petugas kereta api tampak sibuk membersihkan koran sisa-sisa alas tidur para penumpang. Artinya sebentar lagi aku akan tiba di kotamu.
Bunyi klakson kereta terdengar berdengung diiringi kepul asap, akhirnya rangkaian gerbong tersebut kini benar-benar merapat di peron stasiun. Hari masih pagi saat aku tiba di stasiun kota, hilir mudik para penumpang pun belum seberapa terlihat. Setelah 13 jam dalam perjalanan rasa lelah pun hinggap, ingin rasanya segera sampai di rumah. Setengah jam perjalanan dari stasiun, akhirnya aku tiba juga di depan rumah.
Rumah itu kini terlihat tak terawat, cat putih yang membalut besi pagar tampak mulai terkelupas. Padahal aku ingat di bibir pagar itu empat tahun yang lalu, saat aku hendak berpamitan usai menghadiri acara pernikahanmu. Ingat sekali aku, saat kecup hangatmu mendarat mesra di keningku, mengantarkan aku pulang ke kampung halaman. Hingga akhirnya lima bulan setelah itu aku sadar itu adalah kecupan terakhirmu, saat sebuah telepon berdering memecah tangisanku di sebuah Jum’at siang.
Kini kuinjakkan kaki lelahku memasuki rumah itu, empat tahun memang bukan waktu yang sebentar. Namun tatanan rumah tersebut juga masih sama dengan saat terakhir aku mengunjunginya, begitu juga saat kulihat seseorang pria dengan perawakan tinggi kurus menghampiriku dari kejauhan. Pria itu masih terlihat sama seperti dulu, bahkan kini terlihat lebih kurus, kelopak matanya kini pun lebih cekung.
Ah….seperti yang kuduga sebelumnya, setelah menjabat tanganku dia menarik tubuhku, merangkulku seolah mencoba menarikku kembali dalam duka yang dirasakannya. Derainya hanya kubalas dengan sesekali sesenggukan, aku tak mau terlihat cengeng di depannya. Sesegera mungkin ku basuh mataku, aku tak mau ikut berjamaah dalam sedihnya. Sebab itu pun justru akan menambah dalam dukanya, biar nanti kutuntaskan sendiri tangisan ini di kamar tidur atau bahkan di kamar mandi.
Di sudut kamarnya yang sempit itu masih kulihat photo kalian saat acara resepsi tertempel di dinding bersanding dengan sebuah bingkai kaligrafi. Bahkan saat ku intip di komputernya masih kulihat jelas senyummu terpampang di desktop backgroundnya. Kukira waktu sudah bisa menghapus jejakmu di hatinya, tapi ternyata tidak sama sekali. Kukira juga status duda yang melekat padanya membuat dia segera mencari penggantimu, tapi sekali lagi juga tidak. Apakah ini yang dinamakan cinta sejati?ah…aku masih terlalu kecil untuk memahaminya. Sebab setahuku Cinta sejati hanya kubaca di novel, itu pun kisahnya terlihat mengada-ada.
Akhirnya kurebahkan juga tubuh lelahku, sambil menunggu kantuk datang, pandanganku menerawang ke arah atap kamar. Aku masih ingat di tempat ini kau dulu sempat berjanji untuk menjadi kakak dan pengganti ibu yang baik buatku, tapi janji itu hanya kau tepati selama dua tahun. Setelah itu justru sekedar membuktikan untuk menjadi ibu yang baik bagi calon bayimu saja kau tak sempat. Janin yang berusia lima bulan itu pun justru kau ajak berpisah dengan sang calon ayah. Kau memang tak usah berjanji lagi, apalagi sampai berjanji untuk hadir saat aku meraih gelar sarjana kelak. Tak usah lah….pasti tak akan kau tepati.
Empat hari sudah aku berada di kotamu, sebelum pulang kusempatkan untuk menyambangimu. Sekedar untuk berpamitan, bukan untuk meminta kecupanmu lagi tapi aku ingin mengabarkan sesuatu kepadamu. Kini aku benar-benar dihadapmu, ini pertama kalinya aku datang padamu setelah kecupan itu. Rumput-rumput yang menumbuhi pusara mu masih terlihat segar berlumur embun pagi. Aku tak tahu pasti apakah akan kau dengar kabarku ini, kalaupun tidak aku yakin rumput-rumput ini yang akan mengabarkan kepadamu entah kapan.
Aku ingin mengabarkan padamu bahwa aku baik-baik saja, kuliahku juga semua berjalan lancar. Jika tak ada halangan setahun lagi gelar sarjana sudah ku genggam, memang aku tak akan seperti pak Habibie ataupun seorang Thomas Alpha Edison yang sering kau dambakan waktu aku masih SD dulu. Toh sekarang tenar pak Habibie sudah kalah dengan seorang Gayus, ataupun Nazaruddin. Begitu juga Edison, anak-anak SD sekarang lebih suka mendengar cerita Justien Bieber daripada kisah Edison dan Bola lampunya itu.
Stasiun kota sore itu terlihat ramai, beberapa calon penumpang terlihat menunggu datangnya kereta. “kereta mutiara selatan jurusan Bandung-Surabaya sebentar lagi akan segera diberangkatkan , untuk semua penumpang diharapkan segera memasuki kereta” Suara petugas stasiun terdengar dari pengeras suara. Dari kaca kereta yang mulai bergerak kulihat stasiun kota semakin terlihat kecil,dan akhirnya hilang dalam pandanganku. Kusudahi saja tulisan ini, Toh ini hanya sebuah tulisan dari si bungsu untuk si sulung jadi tak penting rasanya penumpang disebelahku ini tahu tentang apa yang kutulis. Biarkan kerinduan ini yang tahu hanya aku dan kursi kereta saja.
Bandung, 22 Juni 2011
Reply to this post
Posting Komentar