Tiga sisi Topeng monyet
Nasi pecel dibungkus tersebut tinggal menyisakan beberapa suapan lagi. Sementara suasana salah satu sudut di pasar minggu pagi itu terdengar sangat bising. Selain karena kerumunan orang yang berjubel, sumber kebisingan utama berasal dari suara mesin genset listrik. Namun di sela-sela deru mesin genset sayup-sayup terdengar dari kejauhan suara gendang.
Walaupun tak saya lihat langsung, namun suara tersebut bisa saya pastikan adalah suara gendang topeng monyet yang ditabuh sang pawang. Ternyata benar dugaan saya, seorang lalaki paruh baya tampak khusyu’ mengiringi luwes tarian seekor monyet. Sembari tangan kirinya memegang rantai, sesekali dia lemparkan topeng atau sepeda mainan ke rekan kerjanya tersebut. Usai sang lakon mempertunjukkan atraksinya, para penonton kemudian melemparkan recehan.
Di antara kepadatan dan rutinitas yang membelenggu warga kota seperti malang, keberadaan topeng monyet memang menjadi salah satu alternative hiburan yang murah. Tak butuh dalam-dalam merogoh kocek, penonton sudah bisa menyakikan teater hewani tersebut. Bahkan terkadang anda hanya butuh modal datang sukarela untuk menyaksikannya sebab kian hari hiburan tradisional seperti topeng monyet mulai ditinggalkan penggemarnya.
Topeng monyet memang tidak bisa hanya dilihat dari segi hiburan semata. Bagi sang pawang, topeng monyet adalah cara dia dalam bertahan hidup, selain itu dia juga membawa misi pelestarian budaya. Namun dalam upaya mem…hidupnya ataupun mempertahankan kelestarian hiburan tradisional mereka juga kerap kali melupakan asasi sang hewan. Tak jarang hiburan yang menampilkan ketrampilan seekor hewan seperti sirkus kerap kali hanya menjadi ajang eksploitasi hewan tanpa memperhatikan nasib sang hewan tersebut. Apakah ada jaminan perawatan yang baik terhadap monyet tersebut? Tentu saja tidak, bayangkan saja untuk sekedar mencukupi kebutuhan hidup saja sang pawang harus bersusah payah berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya.
Ditengah gilasan arus pembangunan yang semain menggila, topeng monyet memang semakin ditinggalkan, sebab pekerjaan menjadi pawang topeng monyet memang dirasa kurang bisa diandalkan sebagai tumpuan hidup. Selain itu para penonton juga mulai bergeser kepada tontonan atau hiburan yang lebih praktis dan berbau elektornik. Ironis memang…sebab dilain sisi topeng monyet bisa dibilang juga merupakan kesenian tradisional yang selayaknya perlu dilestarikan. Jadi mari kita lihat saja sepuluh atau dua puluh tahun lagi, apakah masih akan ada teater topeng monyet di tepi-tepi jalan??di tengah kerumunan pasar?ataukah topeng monyet kelak hanya akan menjadi cerita yang tertulis di museum-museum tempat anak cucu kita ber-study wisata???
Reply to this post
Posting Komentar