| No comment yet

Atas Nama Cinta (Pake Tanda Tanya)


“Irfan bachdim menikah di luar negeri, keluarga di manado tak setuju”. Begitu salah satu judul berita di salah satu portal online yang saya buka beberapa hari lalu. Selain ramai diperbincangkan di dunia maya, pernikahan dua sejoli yang berdarah Indo tersebut juga menjadi salah satu topic yang paling sering muncul di Infotainment.
“keluarga Irfan di manado tak setuju atas pernikahan irfan dengan Jennifer yang seorang non-muslim, mereka merasa dilecehkan lantaran mayoritas keluarga Irfan disana adalah keluarga ulama” begitu narasi salah satu Infotainment dengan notasi tinggi rendah yang agak Alay.
Kebetulan beberapa hari sebelumnya saya juga sempat mendengar satu keluhan seorang teman tentang keberlangsungan hubungan cintanya dengan sang kekasih yang berbeda keyakinan.  Hubungan mereka sejauh ini berjalan dengan lancar. Namun ketika mereka mencoba membicarakan masa depan hubungan mereka, selalu yang mereka dapati justru adalah rasa risau dan kebuntuan. Hal tersebut cukup beralasan pasalnya orang tua dan beberapa kerabat mereka kurang setuju. Akhirnya mereka sepakat untuk tidak membicarakannya dan mencoba menjalaninya dengan apa adanya.
Pernikahan beda keyakinan memang bukan hal baru dalam keseharian masyarakat Indonesia. Walaupun masih menjadi pro-kontra di masyarakat, namun tak sedikit juga yang menjalaninya. Secara hukum, di Indonesia memang belum diperbolehkan. Pernikahan di atur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.  Dalam Undang-undang ini, tepatnya dalam pasal 2 diatur bahwa sebuah perkawinan sah secara hukum apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan dari masing-masing pihak yang akan menikah serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peraturan lain, yaitu  UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan malah lebih tegas menyebutkan bahwa perkawinan beda agama jelas-jelas tidak diperbolehkan di Indonesia. Kalaupun memungkinkan terjadi, perkawinan tersebut harus dilakukan di luar negeri. Perkawinan di luar negeri memang bisa saja di catatkan di Kantor Urusan Agama, namun yang perlu digaris bawahi adalah bahwa pernikahan tersebut hanya tercatat namun keabsahannya tidak diakui.
| No comment yet

Nge-bike sehari (part I)


Waktu masih menunjukkan pukul 06.48 saat saya dan seorang sepupu saya memeriksa seluruh bagian sepeda. Kami pastikan semua bagian dalam keadaan baik, mulai dari shockbreaker,pedal, sampai kondisi gear depan dan belakang, tak lupa helm untuk standar keselematan. Setelah semua dipastikan dalam keadaan siap untuk perjalanan jauh, giliran stamina sang penunggang yang disiapkan. Seteguk susu kambing yang terhidang di meja makan siap menjadi bahan bakar kami paling tidak sampai siang nanti. Tepat pukul 07.00 kami bergegas meninggalkan rumah.
aku narsis maka aku ada


Keluar dari komplek perumahan kami disambut kemacetan yang luar biasa. Bersepeda diawal pekan memang bukan ide yang bagus, apalagi saat lebih dari separuh penduduk kota mulai beraktifitas. Tapi pagi itu kami nekat menerobos kemaceten kota Bandung. Udara segar yang tadi pagi kami hirup kini berganti kepul polusi dan bising deru mesin. Lepas dari kemacetan di satu jalan, kemacetan lain sudah mengahadang begitu seterusanya selama kurang lebih setengah jam kami berjalan. Akhirnya tepat didepan Trans studio Bandung kayuhan kami benar-benar terhenti. Didepan wahana permainan yang mirip dunia Fantasi tersebut terlihat beberapa petugas Cleaning service sedang membersihkan sampah yang berserakan. Maklum malam sebelumnya baru saja dilaksanakan soft opening
 
Setelah sekitar 15 menit, kemacetan baru benar-benar bisa terurai. Lepas dari kemacetan, kami lanjutkan kayuhan kami . Kota yang pernah ludes terbakar dalam peristiwa Bandung lautan api ini memang bisa dibilang sebagai salah satu kiblat mode di Indonesia. Sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan kafe dan Factory outlet pantas rasanya bandung dijuluki paris van java. Selain dimanjakan tata kota yang asri, kami dan para pengendara sepeda lain juga dimanjakan dengan adanya jalur khusus pesepeda. Fasilitas ini benar-benar dimanfaatkan oleh para penduduk, tak jarang kami juga bertemu dengan pekerja kantor yang berangkat menggunakan sepeda, mereka punya jargon “bike to work”. Pemandangan ini tentu masih jarang terlihat di kota-kota lain. Bahkan dalam menggalakkan wacana Go Green, Bandung lebih unggul satu langkah daripada ibukota. Jika di Jakarta car free day hanya satu bulan sekali, bandung berani melaksanakannya tiap minggu.

Tak lama mengayuh, kami sampai pada tujuan pertama yaitu Gedung Sate. Gedung yang juga dibuat ngantor Gubernur jawa barat tersebut bisa dibilang sebagai salah satu landmark kota kembang. Tak salah jika kebanyakan orang yang sambang ke bandung pasti mengabadikan gambar mereka di depan gedung yang di ujung atapnya berbentuk seperti sate tersebut.
















Terik matahari mulai terasa, namun pemandangan bandung masih terlalu luas untuk di disia-siakan begitu saja. Selain pemandangan kota yang megah, seperti kota-kota lainnya di Indonesia Bandung juga memiliki permasalahan tata kota, yaitu pemukiman padat penduduk yang kumuh. Setelah melintasi Fly Over pasupati yang terkenal itu kami mencoba menyusuri pemukiman padat penduduk di bawah jembatan tersebut. Seperti dugaan kami sebelumnya, kami disuguhi jajaran rumah penduduk yang berdesak-desakan. Gang-gang sempi yang kami susuri terlihat sangat kumuh, padahal tepat diatas pemukiman tersebut berdiri megah pusat perbelanjaan yang sangat terkenal.
mejeng sebentar di fly over pasupati


Keringat mulai bercucuran hampir tiga jam sudah kami menunggangi sepeda, suara perut mulai memanggil kami untuk beristirahat sejenak. Setelah mengitari komplek kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) kami putuskan mengisi perut sejenak. Semangkok bubur ayam dan segelas susu sapi murni terhidang di hadapan kami. Sambil menikmati sarapan pagi, kami mengamati hilir mudik mahasiswa ITB. Namun ada yang unik disini, didepan kampus tersebut terlihat beberapa orang menawarkan jasa tunggang kuda. Mereka menawarkan jasa tunggang kuda untuk berkeliling komplek kampus.
depan kampus ITB

kalo yang ini UNPAD


Setelah puas menyantap sarapan, kami lanjutkan perjalanan kami menuju tujuan selanjutnya yaitu daerah Dago. Namun sebelum melanjutkan perjalanan ke dago, kami sempatkan dulu berkeliling di areal kampus Universitas Padjajaran (UNPAD). Kampus yang letaknya bersebelahan dengan ITB tersebut tampak lengang hanya beberapa mahasiswa yang tampak lalu lalang. UNPAD sendiri sekarang memiliki dua kampus selain di daerah Jln. Dipati Ukur bandung, Perguruan tinggi yang memiliki Fakultas Ilmu Komunikasi terbaik di Indonesia tersebut juga memiliki kampus baru yang lebih luas di daerah Jatinangor Kabupaten Sumedang.

| No comment yet

Nge-bike sehari (part II)


Kami putar haluan beralik arah menuju arah dago, lagi-lagi kami terjebak kemacetan, maklum saat itu jam menunjukkan pukul 12.00, waktu istirahat bagi pegawai kantor. Usai lepas dari kemacetan, kami akhirnya samapi juga di daerah Dago. Dago terkenal sebagai tempat nongkrong anak-anak 94uL bandung, dan lagi-lagi pemandangan sepanjang jalan adalah kafe-kafe serta Factory Outlet. Namun perjalanan kami ke Dago bukan untuk nongkrong di salah satu kafe, tujuan kami adalah ke Dago atas melihat kota bandung dari atas bukit dan syukur-syukur jika stamina masih mumpuni bisa nyampe ke Lembang. 
nyampe di dago

 
Jalanan mulai menanjak memaksa kami mulai memainkan gear sepeda. Sesekali kami berhenti sebab untuk menaklukan jalan tanjakan ternyata tak cukup stamina tapi juga skill dalam bersepeda. Perjalanan belum sampai separoh saat kami memutuskan untuk berhenti untuk sekedar meneguk sebotol air mineral yang kami beli. Perjalanan kami lanjutkan, gear sepeda masih di angka 6 artinya memang kayuhan ringan yang kami butuhkan untuk jalanan menanjak seperti ini. 
 
Perjalanan terasa lebih berat bagi saya sebab sepeda yang saya tunggangi bukan tipe sepeda untuk tanjakan. Sepeda yang saya tunggangi adalah sepeda model down hill. Sepeda tipe ini lebih cocok untuk menuruni jalanan terjal atau menuruni bukit. Apalagi roda sepeda tersebut di rancang lebih besar serta garpu depan lebih tinggi tentu saja kurang sesuai untuk jalan naik seperti daerah Dago ini. Daerah Dago meiliki kesamaan topografi dengan daerah batu malang, selain berada di lereng bukit di daerah ini juga banyak terdapt vila-vila yang disewakan untuk pengunjung. 
 
Setengah jam sudah kami berjuang menaklukan jalan tanjakan, akhirnya kami sampai didaerah Dago atas. Seolah merasa kurang tertantang, kami melanjutkan perjalanan menuju perbukitan di daerah tersebut. Tentu saja sesuai dengan tujuan awal kami yaitu menuju daerah Lembang. Seperti yang kita ketahui, lembang merupakan salah satu daerah wisata di daerah Jawa Barat. Selain terkenal dengan udaranya yang sejuk, di daearah ini juga terdapat salah satu onjek wisata yang terkenal yaitu observatorium boscha atau lebih dikenal dengan teropong bintang boscha. 
 
Benar saja, medan yang kami hadapi kini lebih berat. Beda jauh dengan di daerah dago kota, tanjakan jalannya bahkan ada yang hampir membentuk sudut 90. Dan akhirnya stamina berkata lain, lantaran jalanan yang kami daki ternyata semakin menanjak kami putuskan untuk beristirahat. 
ngaso sebentar

 
Hampir setengah jam kami beristirahat, dengan sisa-sisa yang kami miliki akhirnya kami putuskan untuk turun. Jika saat naik tadi kami harus mahir mengatur gear sepeda, untuk perjalanan pulang kami dituntut mahir dalam mengendalikan rem. Sebab bisa dipastikan jalanan yang akan kami lalui dipenuhi dengan turunan-turunan tajam.

Tak butuh waktu lama untuk turun, tak sampai 45 menit akhirnya kami sampai kembali di pusat kota Bandung. Tapi perjalanan belum berakhir, tujuan selanjutnya adalah gedung merdeka. Setelah menerobos beberapa jalanan protocol, kami sampai juga di gedung Merdeka. Bangunan tempat diadakannya Konferensi Asia-Afrika tersebut tampak berjubel, puluhan pengunjung tampak memadati halaman depan. Namun panas kota bandung memaksa kami untuk tak berlama-lama disana, Setelah melewati masjid agung dan alun-alun kota kami akhirnya bergegas pulang. 
mejeng di gedung merdeka

 
Terik matahari siang itu benar-benar sudah mengakrabi kulit kami yang bercucuran keringat, ditambah pemandangan fatamorgana jalanan beraspal semakin membuat kami ingin segera sampai dirumah. Setengah jam dari pusat kota akhirnya pukul 14.15 kami sampai di rumah kembali. Tak terasa ternyata kami sudah bersepeda selama tujuh jam, sebuah pengalaman dan rekor pribadi tersendiri bagi saya. 
 
A fascinating journey…..
| No comment yet

Kota Kembang Merenda Rindu


Matahari mulai mengintip di sela-sela bukit, kemuningnya mulai menjilati sela-sela gerbong. Sementara para pengasong masih asik mondar-mandir menjajakan dagangannya, dua orang petugas kereta api tampak sibuk membersihkan koran sisa-sisa alas tidur para penumpang. Artinya sebentar lagi aku akan tiba di kotamu. 

Bunyi klakson kereta terdengar berdengung diiringi kepul asap, akhirnya rangkaian gerbong tersebut kini benar-benar merapat di peron stasiun. Hari masih pagi saat aku tiba di stasiun kota, hilir mudik para penumpang pun belum seberapa terlihat. Setelah 13 jam dalam perjalanan rasa lelah pun hinggap, ingin rasanya segera sampai di rumah. Setengah jam perjalanan dari stasiun, akhirnya aku tiba juga di depan rumah.

Rumah itu kini terlihat tak terawat, cat putih yang membalut besi pagar tampak mulai terkelupas. Padahal aku ingat di bibir pagar itu empat tahun yang lalu, saat aku hendak berpamitan usai menghadiri acara pernikahanmu. Ingat sekali aku, saat kecup hangatmu mendarat mesra di keningku, mengantarkan aku pulang ke kampung halaman. Hingga akhirnya lima bulan setelah itu aku sadar itu adalah kecupan terakhirmu, saat sebuah telepon berdering memecah tangisanku di sebuah Jum’at siang.

Kini kuinjakkan kaki lelahku memasuki rumah itu, empat tahun memang bukan waktu yang sebentar. Namun tatanan rumah tersebut juga masih sama dengan saat terakhir aku mengunjunginya, begitu juga saat kulihat seseorang pria dengan perawakan tinggi kurus menghampiriku dari kejauhan. Pria itu masih terlihat sama seperti dulu, bahkan kini terlihat lebih kurus, kelopak matanya kini pun lebih cekung.

Ah….seperti yang kuduga sebelumnya, setelah menjabat tanganku dia menarik tubuhku, merangkulku seolah mencoba menarikku kembali dalam duka yang dirasakannya. Derainya hanya kubalas dengan sesekali sesenggukan, aku tak mau terlihat cengeng di depannya. Sesegera mungkin ku basuh mataku, aku tak mau ikut berjamaah dalam sedihnya. Sebab itu pun justru akan menambah dalam dukanya, biar nanti kutuntaskan sendiri tangisan ini di kamar tidur atau bahkan di kamar mandi.

Di sudut kamarnya yang sempit itu masih kulihat photo kalian saat acara resepsi tertempel di dinding bersanding dengan sebuah bingkai kaligrafi. Bahkan saat ku intip di komputernya masih kulihat jelas senyummu terpampang di desktop backgroundnya. Kukira waktu sudah bisa menghapus jejakmu di hatinya, tapi ternyata tidak sama sekali. Kukira juga status duda yang melekat padanya membuat dia segera mencari penggantimu, tapi sekali lagi juga tidak. Apakah ini yang dinamakan cinta sejati?ah…aku masih terlalu kecil untuk memahaminya. Sebab setahuku Cinta sejati hanya kubaca di novel, itu pun kisahnya terlihat mengada-ada.

Akhirnya kurebahkan juga tubuh lelahku, sambil menunggu kantuk datang, pandanganku menerawang ke arah atap kamar. Aku masih ingat di tempat ini kau dulu sempat berjanji untuk menjadi kakak dan pengganti ibu yang baik buatku, tapi janji itu hanya kau tepati selama dua tahun. Setelah itu justru sekedar membuktikan untuk menjadi ibu yang baik bagi calon bayimu saja kau tak sempat. Janin yang berusia lima bulan itu pun justru kau ajak berpisah dengan sang calon ayah. Kau memang tak usah berjanji lagi, apalagi sampai berjanji untuk hadir saat aku meraih gelar sarjana kelak. Tak usah lah….pasti tak akan kau tepati.

Empat hari sudah aku berada di kotamu, sebelum pulang kusempatkan untuk menyambangimu. Sekedar untuk berpamitan, bukan untuk meminta kecupanmu lagi tapi aku ingin mengabarkan sesuatu kepadamu. Kini aku benar-benar dihadapmu, ini pertama kalinya aku datang padamu setelah kecupan itu. Rumput-rumput yang menumbuhi pusara mu masih terlihat segar berlumur embun pagi. Aku tak tahu pasti apakah akan kau dengar kabarku ini, kalaupun tidak aku yakin rumput-rumput ini yang akan mengabarkan kepadamu entah kapan. 

Aku ingin mengabarkan padamu bahwa aku baik-baik saja, kuliahku juga semua berjalan lancar. Jika tak ada halangan setahun lagi gelar sarjana sudah ku genggam, memang aku tak akan seperti pak Habibie ataupun seorang Thomas Alpha Edison yang sering kau dambakan waktu aku masih SD dulu. Toh sekarang tenar pak Habibie sudah kalah dengan seorang Gayus, ataupun Nazaruddin. Begitu juga Edison, anak-anak SD sekarang lebih suka mendengar cerita Justien Bieber daripada kisah Edison dan Bola lampunya itu. 

Stasiun kota sore itu terlihat ramai, beberapa calon penumpang terlihat menunggu datangnya kereta. “kereta mutiara selatan jurusan Bandung-Surabaya sebentar lagi akan segera diberangkatkan , untuk semua penumpang diharapkan segera memasuki kereta” Suara petugas stasiun terdengar dari pengeras suara. Dari kaca kereta yang mulai bergerak kulihat stasiun kota semakin terlihat kecil,dan akhirnya hilang dalam pandanganku. Kusudahi saja tulisan ini, Toh ini hanya sebuah tulisan dari si bungsu untuk si sulung jadi tak penting rasanya penumpang disebelahku ini tahu tentang apa yang kutulis. Biarkan kerinduan ini yang tahu hanya aku dan kursi kereta saja.

Bandung, 22 Juni 2011



You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Followers