| No comment yet

Atas Nama Cinta (Pake Tanda Tanya)


“Irfan bachdim menikah di luar negeri, keluarga di manado tak setuju”. Begitu salah satu judul berita di salah satu portal online yang saya buka beberapa hari lalu. Selain ramai diperbincangkan di dunia maya, pernikahan dua sejoli yang berdarah Indo tersebut juga menjadi salah satu topic yang paling sering muncul di Infotainment.
“keluarga Irfan di manado tak setuju atas pernikahan irfan dengan Jennifer yang seorang non-muslim, mereka merasa dilecehkan lantaran mayoritas keluarga Irfan disana adalah keluarga ulama” begitu narasi salah satu Infotainment dengan notasi tinggi rendah yang agak Alay.
Kebetulan beberapa hari sebelumnya saya juga sempat mendengar satu keluhan seorang teman tentang keberlangsungan hubungan cintanya dengan sang kekasih yang berbeda keyakinan.  Hubungan mereka sejauh ini berjalan dengan lancar. Namun ketika mereka mencoba membicarakan masa depan hubungan mereka, selalu yang mereka dapati justru adalah rasa risau dan kebuntuan. Hal tersebut cukup beralasan pasalnya orang tua dan beberapa kerabat mereka kurang setuju. Akhirnya mereka sepakat untuk tidak membicarakannya dan mencoba menjalaninya dengan apa adanya.
Pernikahan beda keyakinan memang bukan hal baru dalam keseharian masyarakat Indonesia. Walaupun masih menjadi pro-kontra di masyarakat, namun tak sedikit juga yang menjalaninya. Secara hukum, di Indonesia memang belum diperbolehkan. Pernikahan di atur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.  Dalam Undang-undang ini, tepatnya dalam pasal 2 diatur bahwa sebuah perkawinan sah secara hukum apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan dari masing-masing pihak yang akan menikah serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peraturan lain, yaitu  UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan malah lebih tegas menyebutkan bahwa perkawinan beda agama jelas-jelas tidak diperbolehkan di Indonesia. Kalaupun memungkinkan terjadi, perkawinan tersebut harus dilakukan di luar negeri. Perkawinan di luar negeri memang bisa saja di catatkan di Kantor Urusan Agama, namun yang perlu digaris bawahi adalah bahwa pernikahan tersebut hanya tercatat namun keabsahannya tidak diakui.
| No comment yet

Nge-bike sehari (part I)


Waktu masih menunjukkan pukul 06.48 saat saya dan seorang sepupu saya memeriksa seluruh bagian sepeda. Kami pastikan semua bagian dalam keadaan baik, mulai dari shockbreaker,pedal, sampai kondisi gear depan dan belakang, tak lupa helm untuk standar keselematan. Setelah semua dipastikan dalam keadaan siap untuk perjalanan jauh, giliran stamina sang penunggang yang disiapkan. Seteguk susu kambing yang terhidang di meja makan siap menjadi bahan bakar kami paling tidak sampai siang nanti. Tepat pukul 07.00 kami bergegas meninggalkan rumah.
aku narsis maka aku ada


Keluar dari komplek perumahan kami disambut kemacetan yang luar biasa. Bersepeda diawal pekan memang bukan ide yang bagus, apalagi saat lebih dari separuh penduduk kota mulai beraktifitas. Tapi pagi itu kami nekat menerobos kemaceten kota Bandung. Udara segar yang tadi pagi kami hirup kini berganti kepul polusi dan bising deru mesin. Lepas dari kemacetan di satu jalan, kemacetan lain sudah mengahadang begitu seterusanya selama kurang lebih setengah jam kami berjalan. Akhirnya tepat didepan Trans studio Bandung kayuhan kami benar-benar terhenti. Didepan wahana permainan yang mirip dunia Fantasi tersebut terlihat beberapa petugas Cleaning service sedang membersihkan sampah yang berserakan. Maklum malam sebelumnya baru saja dilaksanakan soft opening
 
Setelah sekitar 15 menit, kemacetan baru benar-benar bisa terurai. Lepas dari kemacetan, kami lanjutkan kayuhan kami . Kota yang pernah ludes terbakar dalam peristiwa Bandung lautan api ini memang bisa dibilang sebagai salah satu kiblat mode di Indonesia. Sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan kafe dan Factory outlet pantas rasanya bandung dijuluki paris van java. Selain dimanjakan tata kota yang asri, kami dan para pengendara sepeda lain juga dimanjakan dengan adanya jalur khusus pesepeda. Fasilitas ini benar-benar dimanfaatkan oleh para penduduk, tak jarang kami juga bertemu dengan pekerja kantor yang berangkat menggunakan sepeda, mereka punya jargon “bike to work”. Pemandangan ini tentu masih jarang terlihat di kota-kota lain. Bahkan dalam menggalakkan wacana Go Green, Bandung lebih unggul satu langkah daripada ibukota. Jika di Jakarta car free day hanya satu bulan sekali, bandung berani melaksanakannya tiap minggu.

Tak lama mengayuh, kami sampai pada tujuan pertama yaitu Gedung Sate. Gedung yang juga dibuat ngantor Gubernur jawa barat tersebut bisa dibilang sebagai salah satu landmark kota kembang. Tak salah jika kebanyakan orang yang sambang ke bandung pasti mengabadikan gambar mereka di depan gedung yang di ujung atapnya berbentuk seperti sate tersebut.
















Terik matahari mulai terasa, namun pemandangan bandung masih terlalu luas untuk di disia-siakan begitu saja. Selain pemandangan kota yang megah, seperti kota-kota lainnya di Indonesia Bandung juga memiliki permasalahan tata kota, yaitu pemukiman padat penduduk yang kumuh. Setelah melintasi Fly Over pasupati yang terkenal itu kami mencoba menyusuri pemukiman padat penduduk di bawah jembatan tersebut. Seperti dugaan kami sebelumnya, kami disuguhi jajaran rumah penduduk yang berdesak-desakan. Gang-gang sempi yang kami susuri terlihat sangat kumuh, padahal tepat diatas pemukiman tersebut berdiri megah pusat perbelanjaan yang sangat terkenal.
mejeng sebentar di fly over pasupati


Keringat mulai bercucuran hampir tiga jam sudah kami menunggangi sepeda, suara perut mulai memanggil kami untuk beristirahat sejenak. Setelah mengitari komplek kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) kami putuskan mengisi perut sejenak. Semangkok bubur ayam dan segelas susu sapi murni terhidang di hadapan kami. Sambil menikmati sarapan pagi, kami mengamati hilir mudik mahasiswa ITB. Namun ada yang unik disini, didepan kampus tersebut terlihat beberapa orang menawarkan jasa tunggang kuda. Mereka menawarkan jasa tunggang kuda untuk berkeliling komplek kampus.
depan kampus ITB

kalo yang ini UNPAD


Setelah puas menyantap sarapan, kami lanjutkan perjalanan kami menuju tujuan selanjutnya yaitu daerah Dago. Namun sebelum melanjutkan perjalanan ke dago, kami sempatkan dulu berkeliling di areal kampus Universitas Padjajaran (UNPAD). Kampus yang letaknya bersebelahan dengan ITB tersebut tampak lengang hanya beberapa mahasiswa yang tampak lalu lalang. UNPAD sendiri sekarang memiliki dua kampus selain di daerah Jln. Dipati Ukur bandung, Perguruan tinggi yang memiliki Fakultas Ilmu Komunikasi terbaik di Indonesia tersebut juga memiliki kampus baru yang lebih luas di daerah Jatinangor Kabupaten Sumedang.

| No comment yet

Nge-bike sehari (part II)


Kami putar haluan beralik arah menuju arah dago, lagi-lagi kami terjebak kemacetan, maklum saat itu jam menunjukkan pukul 12.00, waktu istirahat bagi pegawai kantor. Usai lepas dari kemacetan, kami akhirnya samapi juga di daerah Dago. Dago terkenal sebagai tempat nongkrong anak-anak 94uL bandung, dan lagi-lagi pemandangan sepanjang jalan adalah kafe-kafe serta Factory Outlet. Namun perjalanan kami ke Dago bukan untuk nongkrong di salah satu kafe, tujuan kami adalah ke Dago atas melihat kota bandung dari atas bukit dan syukur-syukur jika stamina masih mumpuni bisa nyampe ke Lembang. 
nyampe di dago

 
Jalanan mulai menanjak memaksa kami mulai memainkan gear sepeda. Sesekali kami berhenti sebab untuk menaklukan jalan tanjakan ternyata tak cukup stamina tapi juga skill dalam bersepeda. Perjalanan belum sampai separoh saat kami memutuskan untuk berhenti untuk sekedar meneguk sebotol air mineral yang kami beli. Perjalanan kami lanjutkan, gear sepeda masih di angka 6 artinya memang kayuhan ringan yang kami butuhkan untuk jalanan menanjak seperti ini. 
 
Perjalanan terasa lebih berat bagi saya sebab sepeda yang saya tunggangi bukan tipe sepeda untuk tanjakan. Sepeda yang saya tunggangi adalah sepeda model down hill. Sepeda tipe ini lebih cocok untuk menuruni jalanan terjal atau menuruni bukit. Apalagi roda sepeda tersebut di rancang lebih besar serta garpu depan lebih tinggi tentu saja kurang sesuai untuk jalan naik seperti daerah Dago ini. Daerah Dago meiliki kesamaan topografi dengan daerah batu malang, selain berada di lereng bukit di daerah ini juga banyak terdapt vila-vila yang disewakan untuk pengunjung. 
 
Setengah jam sudah kami berjuang menaklukan jalan tanjakan, akhirnya kami sampai didaerah Dago atas. Seolah merasa kurang tertantang, kami melanjutkan perjalanan menuju perbukitan di daerah tersebut. Tentu saja sesuai dengan tujuan awal kami yaitu menuju daerah Lembang. Seperti yang kita ketahui, lembang merupakan salah satu daerah wisata di daerah Jawa Barat. Selain terkenal dengan udaranya yang sejuk, di daearah ini juga terdapat salah satu onjek wisata yang terkenal yaitu observatorium boscha atau lebih dikenal dengan teropong bintang boscha. 
 
Benar saja, medan yang kami hadapi kini lebih berat. Beda jauh dengan di daerah dago kota, tanjakan jalannya bahkan ada yang hampir membentuk sudut 90. Dan akhirnya stamina berkata lain, lantaran jalanan yang kami daki ternyata semakin menanjak kami putuskan untuk beristirahat. 
ngaso sebentar

 
Hampir setengah jam kami beristirahat, dengan sisa-sisa yang kami miliki akhirnya kami putuskan untuk turun. Jika saat naik tadi kami harus mahir mengatur gear sepeda, untuk perjalanan pulang kami dituntut mahir dalam mengendalikan rem. Sebab bisa dipastikan jalanan yang akan kami lalui dipenuhi dengan turunan-turunan tajam.

Tak butuh waktu lama untuk turun, tak sampai 45 menit akhirnya kami sampai kembali di pusat kota Bandung. Tapi perjalanan belum berakhir, tujuan selanjutnya adalah gedung merdeka. Setelah menerobos beberapa jalanan protocol, kami sampai juga di gedung Merdeka. Bangunan tempat diadakannya Konferensi Asia-Afrika tersebut tampak berjubel, puluhan pengunjung tampak memadati halaman depan. Namun panas kota bandung memaksa kami untuk tak berlama-lama disana, Setelah melewati masjid agung dan alun-alun kota kami akhirnya bergegas pulang. 
mejeng di gedung merdeka

 
Terik matahari siang itu benar-benar sudah mengakrabi kulit kami yang bercucuran keringat, ditambah pemandangan fatamorgana jalanan beraspal semakin membuat kami ingin segera sampai dirumah. Setengah jam dari pusat kota akhirnya pukul 14.15 kami sampai di rumah kembali. Tak terasa ternyata kami sudah bersepeda selama tujuh jam, sebuah pengalaman dan rekor pribadi tersendiri bagi saya. 
 
A fascinating journey…..
| No comment yet

Kota Kembang Merenda Rindu


Matahari mulai mengintip di sela-sela bukit, kemuningnya mulai menjilati sela-sela gerbong. Sementara para pengasong masih asik mondar-mandir menjajakan dagangannya, dua orang petugas kereta api tampak sibuk membersihkan koran sisa-sisa alas tidur para penumpang. Artinya sebentar lagi aku akan tiba di kotamu. 

Bunyi klakson kereta terdengar berdengung diiringi kepul asap, akhirnya rangkaian gerbong tersebut kini benar-benar merapat di peron stasiun. Hari masih pagi saat aku tiba di stasiun kota, hilir mudik para penumpang pun belum seberapa terlihat. Setelah 13 jam dalam perjalanan rasa lelah pun hinggap, ingin rasanya segera sampai di rumah. Setengah jam perjalanan dari stasiun, akhirnya aku tiba juga di depan rumah.

Rumah itu kini terlihat tak terawat, cat putih yang membalut besi pagar tampak mulai terkelupas. Padahal aku ingat di bibir pagar itu empat tahun yang lalu, saat aku hendak berpamitan usai menghadiri acara pernikahanmu. Ingat sekali aku, saat kecup hangatmu mendarat mesra di keningku, mengantarkan aku pulang ke kampung halaman. Hingga akhirnya lima bulan setelah itu aku sadar itu adalah kecupan terakhirmu, saat sebuah telepon berdering memecah tangisanku di sebuah Jum’at siang.

Kini kuinjakkan kaki lelahku memasuki rumah itu, empat tahun memang bukan waktu yang sebentar. Namun tatanan rumah tersebut juga masih sama dengan saat terakhir aku mengunjunginya, begitu juga saat kulihat seseorang pria dengan perawakan tinggi kurus menghampiriku dari kejauhan. Pria itu masih terlihat sama seperti dulu, bahkan kini terlihat lebih kurus, kelopak matanya kini pun lebih cekung.

Ah….seperti yang kuduga sebelumnya, setelah menjabat tanganku dia menarik tubuhku, merangkulku seolah mencoba menarikku kembali dalam duka yang dirasakannya. Derainya hanya kubalas dengan sesekali sesenggukan, aku tak mau terlihat cengeng di depannya. Sesegera mungkin ku basuh mataku, aku tak mau ikut berjamaah dalam sedihnya. Sebab itu pun justru akan menambah dalam dukanya, biar nanti kutuntaskan sendiri tangisan ini di kamar tidur atau bahkan di kamar mandi.

Di sudut kamarnya yang sempit itu masih kulihat photo kalian saat acara resepsi tertempel di dinding bersanding dengan sebuah bingkai kaligrafi. Bahkan saat ku intip di komputernya masih kulihat jelas senyummu terpampang di desktop backgroundnya. Kukira waktu sudah bisa menghapus jejakmu di hatinya, tapi ternyata tidak sama sekali. Kukira juga status duda yang melekat padanya membuat dia segera mencari penggantimu, tapi sekali lagi juga tidak. Apakah ini yang dinamakan cinta sejati?ah…aku masih terlalu kecil untuk memahaminya. Sebab setahuku Cinta sejati hanya kubaca di novel, itu pun kisahnya terlihat mengada-ada.

Akhirnya kurebahkan juga tubuh lelahku, sambil menunggu kantuk datang, pandanganku menerawang ke arah atap kamar. Aku masih ingat di tempat ini kau dulu sempat berjanji untuk menjadi kakak dan pengganti ibu yang baik buatku, tapi janji itu hanya kau tepati selama dua tahun. Setelah itu justru sekedar membuktikan untuk menjadi ibu yang baik bagi calon bayimu saja kau tak sempat. Janin yang berusia lima bulan itu pun justru kau ajak berpisah dengan sang calon ayah. Kau memang tak usah berjanji lagi, apalagi sampai berjanji untuk hadir saat aku meraih gelar sarjana kelak. Tak usah lah….pasti tak akan kau tepati.

Empat hari sudah aku berada di kotamu, sebelum pulang kusempatkan untuk menyambangimu. Sekedar untuk berpamitan, bukan untuk meminta kecupanmu lagi tapi aku ingin mengabarkan sesuatu kepadamu. Kini aku benar-benar dihadapmu, ini pertama kalinya aku datang padamu setelah kecupan itu. Rumput-rumput yang menumbuhi pusara mu masih terlihat segar berlumur embun pagi. Aku tak tahu pasti apakah akan kau dengar kabarku ini, kalaupun tidak aku yakin rumput-rumput ini yang akan mengabarkan kepadamu entah kapan. 

Aku ingin mengabarkan padamu bahwa aku baik-baik saja, kuliahku juga semua berjalan lancar. Jika tak ada halangan setahun lagi gelar sarjana sudah ku genggam, memang aku tak akan seperti pak Habibie ataupun seorang Thomas Alpha Edison yang sering kau dambakan waktu aku masih SD dulu. Toh sekarang tenar pak Habibie sudah kalah dengan seorang Gayus, ataupun Nazaruddin. Begitu juga Edison, anak-anak SD sekarang lebih suka mendengar cerita Justien Bieber daripada kisah Edison dan Bola lampunya itu. 

Stasiun kota sore itu terlihat ramai, beberapa calon penumpang terlihat menunggu datangnya kereta. “kereta mutiara selatan jurusan Bandung-Surabaya sebentar lagi akan segera diberangkatkan , untuk semua penumpang diharapkan segera memasuki kereta” Suara petugas stasiun terdengar dari pengeras suara. Dari kaca kereta yang mulai bergerak kulihat stasiun kota semakin terlihat kecil,dan akhirnya hilang dalam pandanganku. Kusudahi saja tulisan ini, Toh ini hanya sebuah tulisan dari si bungsu untuk si sulung jadi tak penting rasanya penumpang disebelahku ini tahu tentang apa yang kutulis. Biarkan kerinduan ini yang tahu hanya aku dan kursi kereta saja.

Bandung, 22 Juni 2011



| No comment yet

Tiga sisi Topeng monyet


Nasi pecel dibungkus tersebut tinggal menyisakan beberapa suapan lagi. Sementara suasana salah satu sudut di pasar minggu pagi itu terdengar sangat bising. Selain karena kerumunan orang yang berjubel, sumber kebisingan utama berasal dari suara mesin genset listrik. Namun di sela-sela deru mesin genset sayup-sayup terdengar dari kejauhan suara gendang. 

Walaupun tak saya lihat langsung, namun suara tersebut bisa saya pastikan adalah suara gendang topeng monyet yang ditabuh sang pawang. Ternyata benar dugaan saya, seorang lalaki paruh baya tampak khusyu’ mengiringi luwes tarian seekor monyet. Sembari tangan kirinya memegang rantai, sesekali dia lemparkan topeng atau sepeda mainan ke rekan kerjanya tersebut. Usai sang lakon mempertunjukkan atraksinya, para penonton kemudian melemparkan recehan. 

Di antara kepadatan dan rutinitas yang membelenggu warga kota seperti malang, keberadaan topeng monyet memang menjadi salah satu alternative hiburan yang murah. Tak butuh dalam-dalam merogoh kocek, penonton sudah bisa menyakikan teater hewani tersebut. Bahkan terkadang anda hanya butuh modal datang sukarela untuk menyaksikannya sebab kian hari hiburan tradisional seperti topeng monyet mulai ditinggalkan penggemarnya. 

Topeng monyet memang tidak bisa hanya dilihat dari segi hiburan semata. Bagi sang pawang, topeng monyet adalah cara dia dalam bertahan hidup, selain itu dia juga membawa misi pelestarian budaya. Namun dalam upaya mem…hidupnya ataupun mempertahankan kelestarian hiburan tradisional mereka juga kerap kali melupakan asasi sang hewan. Tak jarang hiburan yang menampilkan ketrampilan seekor hewan seperti sirkus kerap kali hanya menjadi ajang eksploitasi hewan tanpa memperhatikan nasib sang hewan tersebut. Apakah ada jaminan perawatan yang baik terhadap monyet tersebut? Tentu saja tidak, bayangkan saja untuk sekedar mencukupi kebutuhan hidup saja sang pawang harus bersusah payah berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya. 

Ditengah gilasan arus pembangunan yang semain menggila, topeng monyet memang semakin ditinggalkan, sebab pekerjaan menjadi pawang topeng monyet memang dirasa kurang bisa diandalkan sebagai tumpuan hidup. Selain itu para penonton juga mulai bergeser kepada tontonan atau hiburan yang lebih praktis dan berbau elektornik. Ironis memang…sebab dilain sisi topeng monyet bisa dibilang juga merupakan kesenian tradisional yang selayaknya perlu dilestarikan. Jadi mari kita lihat saja sepuluh atau dua puluh tahun lagi, apakah masih akan ada teater topeng monyet di tepi-tepi jalan??di tengah kerumunan pasar?ataukah topeng monyet kelak hanya akan menjadi cerita yang tertulis di museum-museum tempat anak cucu kita ber-study wisata???
| 2 comments

Kartini-Ku

                  Tri Sumber Urip itu berjalan berjalan lambat, sementara di dalamnya tergolek seorang ibu paruh baya dengan perut yang makin membuncit. Bersandarkan kursi bus yang sudah terlihat kusam, Ibu tersebut mencoba mengambil posisi duduk terbaik sambil sesekali memegangi perutnya. Sementara sang suami terlihat lelah setelah beberapa hari sebelumnya mengorbankan waktu tidurnya, maklum hampir tiap malam harus mengorbankan waktu tidurnya.

                  Sambil memandangi langit-langit bus yang terlihat hampir mau roboh sang suami meratapi nasib hidupnya yang jauh dari kata berkecukupan. Suara jeritan pintu bus yang diterpa angin membuat lamunannya bertambah dalam. 

        Tapi itulah hidup, semua tentang jejak kehidupan seseorang sebenarnya sudah tertulis. Manusia tinggal menjalani, berusaha, dan mensyukuri. Begitulah prinsip yang dia pegang, paling tidak hingga malam ini. Hari semakin malam, Lasem, Rembang, Demak sudah terlewati , Bus jurusan Tuban-Jakarta itu kini mulai merayap memasuki kota Kudus dan hilang tertelan keheningan malam kota wali tersebut.
*****
“Kalau memang itu keputusan terbaik ya mau gimana lagi???” 

“Iya daripada sang ibu yang harus meregang nyawa” 

“jadi lebih baik di check dahulu kesehatan ibu dan anaknya, jika masih belum memungkinkan untuk dipertahankan, ya tidak ada jalan lain kecuali bayi harus dilepas” .

“bagaimana??”
tanya Pak Jono kepada Inah, bermaksud menegaskan. Inah akhirnya mengiyakan usulan forum tersebut. 

               Awalnya memang tak mudah bagi Inah untuk menerima vonis dokter, sebab vonis tersebut mengatakan bahwa bayi yang dikandungnya berada di luar kandungan. Jika hal ini terus berlangsung maka hanya ada dua kemungkinan yaitu menyelematkan sang bayi dengan mengorbankan nyawa sang ibu atau sebaliknya. Walaupun ada kesempatan hidup untuk keduanya, namun prosentasenya sangat kecil. Jadi dalam kasus seperti ini untuk meminimalisasi resiko memang harus ada yang dikorbankan.
| No comment yet

Bunga Terakhir


Mata Julian masih belum bisa terpejam barang sedetik pun, padahal jarum pendek  jam sudah menunjuk pada angka sebelas. Sementara itu hembusan angin malam di luar semakin terdengar kencang, diiringi suara butiran hujan yang beradu dengan genting tetangga. Langit-langit kamar pun menjadi pemandangan yang akrab pada  beberapa malam terakhir. Sesekali  matanya mencoba mengintip selembar photo yang masih tersimpan dalam dompetnya, tapi sesering itu pula dia menanamkan pada dirinya bahwa hari sudah berganti,dan begitupun juga seharusnya suasana hatinya.
*********
Semua tentang ratna adalah semua tentang kesederhanaan, mulai dari cara berpakaian hingga wujud nyata dalam sikapnya sehari-hari.  Pembawaannya kalem khas wanita jawa, paras ayu yang mligi jowo  tersembunyi  di balik kerudung yang setia membalut kepalanya. Kulit putihnya bukan hasil permak pabrik namun hasil karya tulen sang pencipta. Senyumnya renyah, bagai krupuk pada tahu campur yang seringkali mereka santap bersama di kantin sekolah. Sapanya hangat, tak jarang Julian menyetarakannya dengan segelas teh yang tiap pagi menemaninya sebelum berangkat sekolah .  Untu miji delimo, begitu mungkin ibarat orang jawa membahasakan rapi susunan giginya.  Namun hanya beberapa orang yang beruntung saja yang bisa melihat giginya. Sebab tiap kali tersenyum, punggung tangannya yang putih selalu menutupi mulutnya.  Tak butuh waktu lama bagi Julian untuk mengagumi  sosoknya. Namun bukan pula love at the first sight layaknya di roman klasik cerita mereka bermula.
Semua mengalir begitu saja, kadang rasa tersebut hilang namun tak jarang menyala-nyala bagai temaram lampu umplik yang malam itu menerangi pertemuan mereka di salah satu warung kopi. Kadang kisah mereka juga pahit sepahit kopi yang malam itu diseruputnya sebelum memberanikan diri mengungkapkan perasaannya. “ kalau malam saja memberikan kesempatan pada bulan untuk tiap hari menemaninya, kenapa aku tidak” jawab Ratna malam itu sambil tersenyum simpul. Praktis setelah malam itu, semua berjalan manis bahkan tak jarang dua sejoli tersebut lebih mirip dua tokoh dalam roman picisan daripada dua orang aktivis.
| No comment yet

Sarjana, Pengangguran Terselubung



          Tiba-tiba kerumunan manusia berbalut busana toga tersebut mendekatiku yang sedang duduk bersila disalah satu sudut gedung widyaloka UB. bukan lagi dua atau tiga orang, namun jumlahnya bisa kupastikan ribuan. sementara mereka terlihat letih mengikuti ceremonial acara, tampak disamping mereka beberapa handai taulan yang sudah sedari pagi menunggu di depan gedung tempat acara.

Dari kejauhan nampak seorang ibu menggenggam erat pergelangan tangan putranya, sambil sesekali mengusap air matanya tanda bangga. Di sudut lain beberapa orang nampak coba mengabadikan momen dengan berfoto-foto, mungkin fikir mereka ini adalah momen terakhir sebelum mereka benar-benar meninggalkan almamater tercinta.

Rasa bangga, haru dan bahagia memang selalu menghiasi momen wisuda sarjana seperti hari ini. Betapa tidak, penantian panjang para orang tua hari ini seolah terjawab tuntas. Buah hati mereka kini resmi menyandang gelar sarjana, pada hari ini juga pikiran mereka pun akan sekilas melayang ke beberapa tahun ke belakang. Asa tinggi mereka semai saat itu. Saat pertama kali “menitipkan” anak mereka di sebuah perguruan tinggi. Bagi mereka tak jadi masalah harus menjual sawah asalkan buah hati mereka mendapatkan service terbaik dalam akademik. Dan hari ini juga, berbekal ijazah hasil keringat selama empat tahun, para orang tua pun kembali menggantungkan harapan agar kelak anak mereka bisa mendapatkan kerja demi jaminan masa depan yang lebih baik.

Di Universitas Brawijaya sendiri pemandangan seperti ini bisa terjadi empat sampai lima kali setahun. Untuk satu kali wisuda mereka menelurkan paling tidak 1000 mahasiswa, artinya dalam satu tahun jumlah sarjana dari UB bisa mencapai 5000 orang. Namun yang selama ini menjadi pertanyaan besar saya adalah akan kemanakah ribuan sarjana tersebut setelah di wisuda??? tak akan jadi masalah jika kemudian mereka langsung mendapatkan pekerjaan, masalahnya dalam konteks riilnya justru perguruan tinggi adalah penyumbang terbesar pengangguran di Indonesia. Logika bodohnya begini, UB hanyalah salah satu perguruan tinggi di kota Malang, padahal di kota apel ini ada puluhan perguruan tinggi. Belum lagi di sakala jawa timur, dan yang tak terbayangkan lagi adalah akumulasi jumlah sarjana di Seluruh Indonesia, bandingkan dengan jumlah lapangan pekerjaan di negeri yang katanya Gemah ripah loh jinawi ini. (was published in kompasiana.com)
| No comment yet

Awas Bahaya Brain Washing!!!!



Rame-rame perbincangan tentang Negara islam Indonesia (NII) kembali menggusik ingatan saya tentang kisah seorang teman mantan anggota NII. Bahkan pergerakan NII semakin dekat dengan kita, terakhir ada kabar dua mahasiswa UMM hilang. Mereka diduga menjadi korban penculikan disertai tindakan brain washing oleh pengikut NII (Radar Malang, 19 April 2011 ). Bahkan berita yang dilansir Radar Malang hari ini (20 April 2011) disinyalir praktek ini pun sudah terjadi di UB, UIN, dan beberapa perguruan tinggi lain di kota Malang.
Kisahnya memang tak jauh beda dengan kisah yang pernah dialami  oleh teman saya. Panggil saja Paimo (bukan nama sebenarnya), teman sebangku saya dari TK sampai SMA. Sebelumnya tak pernah terlintas sedikitpun dalam benak saya bahwa dia adalah seorang mantan warga NII, hinggga akhirnya dia sendiri yang bercerita tentang pengalaman pahitnya tersebut.  Namun tak mudah untuk kembali mengurai cerita darinya, dia lebih memilih menutup mulut ketika disinggung mengenai kisahnya. Pasalnya keikutsertaannya dalam organisasi tersebut  menjadi semacam trauma pribadi baginya. Menurutnya ketika seorang sudah menjadi warga NII, untuk keluar dari organisasi tersebut bukanlah perkara mudah, sebab keberadaannya akan selalu diawasi.
Tentang seperti apa dan seluk beluk NII saya sendiri kurang mengetahui, dalam beberapa literature yang saya baca NII merupakan kelanjutan dari DI/TII. Organisasi tersebut pada zaman soekarno diberangus karena dianggap membahayakan keutuhan Negara. Para pendiri NII waktu itu termasuk Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo berpendapat bahwa sistem pemerintahan saat itu harus di benah. Salah satu solusi yang ditawarkannya adalah mendirikan sebuah Negara di bawah Khilafah Islamiyah. Namun sekali lagi bagaimana sepak terjang DI/TII pada waktu itu saya juga kurang mengetahui, mungkin teman-teman sekalian bisa mencari di berbagai literature. Setahu saya (maaf kalo saya salah atau sok tahu) bersamaan dengan dibubarkannya NII kertasoewirya pun ditangkap karena diangap sebagai pemberontak.
Sedangkan mengenai NII yang saat ini keberadaanya meresahkan masyarakat banyak versi cerita yang menyatakan bahwa NII yang berada di bawah pimpinan Syekh Pandji Gumilang bukanlah NII yang se-visi dengan NII seperti pada awal berdirinya. Sebab banyak ajarannya yang justru melenceng dari ajaran Islam. Bahkan versi lain mengungkapkan bahwa NII saat ini hanyalah akal-akaln sekelompok orang untuk mengeruk materi pribadi dan kekuasaan dengan mendompleng ketenaran NII masa lalu. Yang jelas NII dianggap illegal karena mencoba mendirikan Negara di dalam Negara yang berdaulat.  Sekali lagi tulisan saya ini tidak akan mambahas banyak tentang NII namun saya tulisan saya ini lebih mencoba menceritakan ulang kisah seorang teman  mantan warga NII.
Kisah lengkapnya dituturkannya sendiri beberapa waktu lalu saat kami bertemu di kampung halaman. Saat itu ajakannya untuk ngopi tidak saya sia-sia kan, tentu saja dengan harapan bisa mengurai lebih banyak lagi tentangnya dan NII. Malam itu disebuah warung kopi berlatar pantai Utara Jawa perjumpaan kami ditemani temaram lampu umplik. Pada awalnya dia memang terkesan ogah-ogahan, bahkan tak sering dia lebih memilih topic pembicaraan lain. Namun seiring dengan makin tebalnya asap rokok yang dihisapnya, akhirnya pembicaraan kami mengalir begitu saja. Walaupun saya bukan seorang perokok ulung, namun demi bisa berlama-lama mendengarkan ceritanya, akhirnya saya mencicipi rokok yang ditawarkannya. Sambil sesekali menyeruput kopi kental  khas pantura yang kami pesan sebelumnya, satu per satu kisahnya pun diurai.
| No comment yet

Bukan Sebuah Syair



Cerita dari salah satu sudut teras utara pulau Jawa 

Memang bukan sebuah syair, apalagi puisi. Hanya sebuah pengamatan mata yang coba dibahasakan……..
Pantai Paciran di sore hari
Hamparan pasir tampak putih berbuih, kala sisa ombak merayap   
Hamparan pasir terasa panas menyengat telapak kaki yang berkeringat
Barisan Nelayan pulang dari melaut di sore hari
Camar-camar hitam terbang rendah melayang disekitar perahu nelayan
Daun kelapa  elok saat melambai mengikuti arah angin
Tampak ombak kejar-mengejar menuju karang
menampar tubuh pencari ikan
Semilir angin berhembus bawa dendang unggas laut
Seperti restui jala nelayan
Jingga Merona di kala Sunset
Gurau mereka memang akrab dengan alam, kudengar dari kejauhan
Dan batu-batu karang tertawa ramah bersahabat
namun jika dilihat dari dekat...korban Industrialisasi
Tapi itu dahulu berapa tahun yang lalu
Cerita orang tuaku, sangat berbeda dengan apa yang ada
Tak biru lagi lautku……………………..
Tak riuh lagi camar mu……………….
Tak rapat lagi jalamu……………………
Tak kokoh lagi karang…………………..
Tak buas lagi ombakmu………………..
Tak elok lagi daun kelapamu………..
Tak senyum lagi nelayanmu………….

cyrant beach, September 2010
 



| No comment yet

Balada Pedas Cabe


Saya berharap ada kisah yang bisa saya tulis pada perjalanan mudik kali ini dan kemudian saya post ke blog. Sebab seperti perjalanan-perjalanan sebelumnya, pasti selalu ada sesuatu yang bisa saya ceritakan pada pembaca blog saya. Dua, tiga jam di bersandarkan kursi DALI PRIMA belum juga ada inspirasi untuk menulis. Jalanan porong yang sore itu tertutup banjir lantaran hujan juga tak kunjung memberikan inspirasi saya untuk memulai menulis.
            Akhirnya setelah enam jam berlalu di dalam kendaraan, angin laut pantai utara Jawa menyapa. Tanda sebentar lagi rumah sudah dekat, artinya tidak ada yang bisa saya tulis dalam perjalanan pulang kali ini. Rumah yang berlantai ubin putih tersebut  kini telah benar-benar didepan  mata. Ingin sekali rasanya langsung rebah diatas kasur empuk kamar tidur yang tak setiap bulannya saya jamah. Belum lagi saya menikmati empuknya kasur, seorang saudara mulai membuka percakapan. Mulai tanya kabar, keadaan kuliah , dan ujung-ujungnya pasti pembicaraan kami tak jauh-jauh dari masalah pertanian. Maklum dari sejumlah saudara, hanya dua orang ini yang tertarik menggeluti dunia pertanian. Lebih tepatnya seorang sarjana pertanian dan calon sarjana pertanian. Pembicaraan kami terus bergulir hingga akhirnya kami sampai pada pembahasan harga cabe.
            Ya…benar sekali cabe  atau anak- anak pertanian (baca:batalion pertanian) biasa memanggilnya  Capsicum annuum L. benar-benar menjadi buah bibir akhir-akhir ini, apalagi kalau bukan masalah harganya yang gak pernah bisa diem. Kadang gara-gara saking murahnya, cabe seolah menjadi “komoditas tiri” di dunia pertanian. Namun ketika harga melambung tinggi petani pun bukannya meraih keuntungan besar. Pada saat-saat seperti itu petani justru menjadi konsumen cabe yang malah mengeluh sebab tak bisa menikmati pedas sambal dengan leluasa.
            Harapan yang tinggi mereka semai saat awal musim tanam cabe, namun sekali lagi cuaca yang tidak menentu menjadi penyebabnya. Cabe hanya mampu hidup tak lebih dari dua bulan lantaran kering kekurangan air. Nasib petani Indonesia memang sepedas rasa cabe, nasib jelek yang dialami petani tak melulu gara-gara cuaca. Seolah memancing dalam air keruh, para makelar cabe pun sering kali memain-mainkan harga demi keuntungan mereka sendiri. Saya pernah mengalami sendiri bagaimana rasanya menjadi petani cabe. Dua minggu sebelum panen raya harga cabe masih berada di kisaran Rp 20.000. Namun pada saat panen raya tiba harga cabe sekonyon-konyong berubah tinggal 1.000 rupiah. Kegembiraan petani seketika itu langsung hilang, bahkan untuk sekedar memanen pun mereka enggan. Alhasil puluhan hektar lahan pertanian di desa saya pun seolah menjadi kebun tanaman hias raksasa yang berisi tanaman cabe. Akhirnya nasib ribuan pohon cabe tersebut pun hanya dibiarkan mengering dan kembali ke tanah menjadi pupuk alami. Jangan tanyakan berapa kerugiannya, tanyakan saja mengapa tak ada upaya dari pemerintah untuk melindungi para petani. Yah begitulah nasib petani yang memilih bertanam komoditas Hortikultura (sayur dan buah). Untuk komoditas padi atau dalam hal ini beras pemerintah menerapkan harga dasar dan harga atap, tapi tidak demikian dengan komoditas horti.
            Di akhir percakapan kami, saya mendengar cerita tentang seorang petani cabe
| No comment yet

Bukan Kisahku


Diiringi gerimis kecil, langkah kecil itu kini mulai meninggalkan jajaran gedung Fakultas Pertanian. Lalu lalang mahasiswa yang pulang dan pergi seolah tak dihiraukan, Wajah yang terlihat kumal itu lebih memilih untuk tenggelam dalam sebuah renungan. Secarik kertas yang beberapa waktu sebelumnya sempat di rangkusnya, kini kembali dikeluarkannya dari dalam kantong. Dua digit angka yang tertulis dengan pulpen merah tersebut diamatinya kembali.  Entah mengapa setelah beberapa saat mengamati kertas tersebut, dia kemudian lebih memilih untuk mencari tempat sampah terdekat lalu membuangnya. Tiga belas semester sudah dia menyandang gelar mahasiswa, artinya satu semester lagi atau tidak sama sekali.
            Semakin sering timbul perdebatan dalam hati kecilnya, sebuah perdebatan tentang kelayakannya hidup di dua dimensi yang sama-sama harus diberikannya porsi yang berimbang. Ada yang bilang bahwa sesuatu yang sama belum tentu berimbang, tapi ternyata baginya susah untuk sekedar bisa memahami atau bahkan mendalami pendapat tersebut. Sering juga dia berkata pada juniornyanya bahwa ketika seseorang duduk diatas dua kursi maka skala prioritas menjadi harga mutlak. Ini tentang konsep manajemen waktu antara kesibukan seorang mahasiswa dan sisi lainnya sebagai seorang aktivis. Tapi seolah menelan ludah sendiri,kini untuk mengingatkan dirinya sendiri pun dia lalai. Namun sudah terlambat baginya untuk sekedar menyesal.
            Dua,atau tiga tahun lalu  hampir setiap ada aksi turun ke jalan, namanya sudah pasti masuk didalam barisan aksi. Baginya saat itu adalah aku bersuara maka aku ada. Sosoknya dulu dikenal diseluruh penjuru kampus sebagai seorang yang getol menyuarakan perubahan. “hapus pendidikan mahal bagi mahasiswa, tururnkan BHP atau rector yang turun” teriaknya gagah di depan rektorat kala itu sambil mengangkat tangan kiri symbol perlawanan. Saat melihat beberapa teman yang terlihat hanya sibuk belajar tanpa pernah terlihat di sebuah organisasi dia selalu melemparkan senyum sinis sambil bergumam dalam hati “ah, dasar korban kurikulum, budak komersialisasi pendidikan!”. Dia akan merasa semakin gagah di muka teman-temannya manakala tidak masuk kuliah dengan membawa surat keterangan izin mengikuti aksi.
            Langkahnya kini mulai memasuki  pemukiman kerto yang padat penduduk. Gang-gang sempit yang hampir tujuh tahun dilewatinya seolah  mulai bertanya tentang janjinya pada awal-awal dia masuk di kota malang. Masih segar diingatannya  ketika tiga tahun lalu di sebuah pagi buta. Saat sebagian besar warga masih terlelap, dia sudah bergegas dengan bawaan peralatan ospek yang sudah disiapkannya malam sebelumnya.  Langkahnya pagi itu terlihat giat, senyumnya tersungging lebar. Dingin kota malang yang menggigil seolah tak dihiraukannya. Sesampainya di kampus para senior yang sudah menunggu langsung mengucapkan salam selamat datang  “Tani….!!!!!”. “Joyo…..!!!!!” jawabnya sambil mengangkat tinggi-tinggi tangan kirinya wujud sebuah kebanggan terhadap almamater. Baginya sebuah kebanggan tersendiri bisa mengecap pendidikan di perguruan tinggi negeri  favorit di Jawa Timur.
| No comment yet

testimoni buat pegiat PersMa

Gimana kabar Pers-mu??sebenarnya kita dari UKM-UKM lain sering memperhatikan sepak terjang kalian, kok Pers UB kayaknya gak ada gregetnya. Ibaratnya hidup enggan mati tak mau
(seorang teman UKM lain dalam sebuah perbincangan di siang hari)
Saya tidak tahu pasti apa yang anda rasakan jika pernyataan tersebut terlontar di hadapan anda secara langsung. Tapi yang jelas saat saya sedang memulai tulisan ini pernyataan teman tadi masih terngiang di benak saya, bahkan lama-kelamanan menerka nalar pikir saya. Pendapatnya jelas bukan tanpa dasar,  jika dasarnya adalah tingkat produktivitas rasanya kita harus menerimanya sabagai sebuah lecutan yang positif. Sebab seperti kita tahu dan kita sadari sendiri memang beberapa tahun terakhir kita (kavling10) memang sedang mandul. Para “pemerhati” akan coba memabandingkan dengan apa yang bisa dihasilkan oleh pendahulu-pendahulu kita. Itulah kenapa kejayaan masa lalu sering menjadi beban tersendiri bagi kita.  Namun jika pendapat tersebut didasarkan hipotesis bahwa kita (pegiat persma.red) sedang tidak berproses saya kira pendapat tersebut hanya pepesan kosong.
Diakui atau tidak bahwa kondisi pers mahasiswa secara umum saat ini mengalami apa yang disebut sebagai krisis eksistensi. Arah perjuangan pers mahsiswa sekarang memang sudah jauh berbeda dengan Pers Mahasiswa pada beberapa decade sebelum kita. Arah perjuangan Pers mahasiswa pada masa lalu memang masih cukup jelas. Kondisi pada era sebelum reformasi memang memungkinkan terbentuknya semacam koalisi pelangi akibat  adanya musuh bersama bernama orde baru. Lantas sekarang setelah orde baru berhasil digulingkan, bagaimana langkah pers mahasiswa selanjutnya??apakah ketika sebuah cita-cita sudah bisa direngkuh lantas perjuangan sudah selesai???tentu saja tidak, beban mempertahankan sesuatu yang sudah diraih pastinya lebih berat. Walaupun saat ini sepak terjang Pers Mahasiswa lebih dititikberatkan di dalam kampus, namun tugas untuk mengawal jalannya demokrasi secara keseluruhan juga mutlak diemban.
Hingga akhirnya saya mulai mengakhiri tulisan ini perkataan teman saya tadi tetap terngiang sebagai sebuah suara sumbang yang tetap harus diperdengarkan. Dan muncul sebuah pertanyaan besar, apakah memang benar bahwa pers mahasiswa saat ini sudah kehilangan arah perjuangannya??dan ataukah benar bahwa pers mahasiswa saat ini hanya berkutat sebatas media aktualisasi diri bagi para anggotanya serta telah jauh dari  fungsi pers sebagai salah satu watchdog bagi kondisi social yang ada disekitarnya??hanya anda yang tahu….

Salam Persma!!!!!
                                                                                                                                                           



You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Followers