Bukan Kisahku


Diiringi gerimis kecil, langkah kecil itu kini mulai meninggalkan jajaran gedung Fakultas Pertanian. Lalu lalang mahasiswa yang pulang dan pergi seolah tak dihiraukan, Wajah yang terlihat kumal itu lebih memilih untuk tenggelam dalam sebuah renungan. Secarik kertas yang beberapa waktu sebelumnya sempat di rangkusnya, kini kembali dikeluarkannya dari dalam kantong. Dua digit angka yang tertulis dengan pulpen merah tersebut diamatinya kembali.  Entah mengapa setelah beberapa saat mengamati kertas tersebut, dia kemudian lebih memilih untuk mencari tempat sampah terdekat lalu membuangnya. Tiga belas semester sudah dia menyandang gelar mahasiswa, artinya satu semester lagi atau tidak sama sekali.
            Semakin sering timbul perdebatan dalam hati kecilnya, sebuah perdebatan tentang kelayakannya hidup di dua dimensi yang sama-sama harus diberikannya porsi yang berimbang. Ada yang bilang bahwa sesuatu yang sama belum tentu berimbang, tapi ternyata baginya susah untuk sekedar bisa memahami atau bahkan mendalami pendapat tersebut. Sering juga dia berkata pada juniornyanya bahwa ketika seseorang duduk diatas dua kursi maka skala prioritas menjadi harga mutlak. Ini tentang konsep manajemen waktu antara kesibukan seorang mahasiswa dan sisi lainnya sebagai seorang aktivis. Tapi seolah menelan ludah sendiri,kini untuk mengingatkan dirinya sendiri pun dia lalai. Namun sudah terlambat baginya untuk sekedar menyesal.
            Dua,atau tiga tahun lalu  hampir setiap ada aksi turun ke jalan, namanya sudah pasti masuk didalam barisan aksi. Baginya saat itu adalah aku bersuara maka aku ada. Sosoknya dulu dikenal diseluruh penjuru kampus sebagai seorang yang getol menyuarakan perubahan. “hapus pendidikan mahal bagi mahasiswa, tururnkan BHP atau rector yang turun” teriaknya gagah di depan rektorat kala itu sambil mengangkat tangan kiri symbol perlawanan. Saat melihat beberapa teman yang terlihat hanya sibuk belajar tanpa pernah terlihat di sebuah organisasi dia selalu melemparkan senyum sinis sambil bergumam dalam hati “ah, dasar korban kurikulum, budak komersialisasi pendidikan!”. Dia akan merasa semakin gagah di muka teman-temannya manakala tidak masuk kuliah dengan membawa surat keterangan izin mengikuti aksi.
            Langkahnya kini mulai memasuki  pemukiman kerto yang padat penduduk. Gang-gang sempit yang hampir tujuh tahun dilewatinya seolah  mulai bertanya tentang janjinya pada awal-awal dia masuk di kota malang. Masih segar diingatannya  ketika tiga tahun lalu di sebuah pagi buta. Saat sebagian besar warga masih terlelap, dia sudah bergegas dengan bawaan peralatan ospek yang sudah disiapkannya malam sebelumnya.  Langkahnya pagi itu terlihat giat, senyumnya tersungging lebar. Dingin kota malang yang menggigil seolah tak dihiraukannya. Sesampainya di kampus para senior yang sudah menunggu langsung mengucapkan salam selamat datang  “Tani….!!!!!”. “Joyo…..!!!!!” jawabnya sambil mengangkat tinggi-tinggi tangan kirinya wujud sebuah kebanggan terhadap almamater. Baginya sebuah kebanggan tersendiri bisa mengecap pendidikan di perguruan tinggi negeri  favorit di Jawa Timur. Dalam setiap derap langkahnya saat itu menggantung harapan dan cita-cita bahwa suatu saat nanti dengan jalan ini dia mampu melihat senyum bangga keluarganya.
            Lamunannya sejenak terhenti saat seorang teman yang berkendara motor memanggil namanya bermaksud menyapa, namun hanya senyum tipis yang dilemparkannya.  Belokan-belokan kecil  disusurinya, cak di sang penjual bakso yang hampir tiap pulang pergi di sapanya sore itu dibiarkan sibuk melayani pembeli. Gerimis yang tadinya hanya rintik-rintik, kini berubah jadi butiran air hujan yang lebih besar. Gumpalan-gumpalan air tersebutlah yang memaksanya untuk mempercepat langkah.
            Kamar berukuran tiga kali tiga meter itu menyambutnya dengan setumpuk buku dan beberapa literature bahan skripsi. Namun sore itu dia lebih memilih menyalakan kompuer jinjingnya dan kemudian rebahan diatas kasur sambil mendengarkan lagu-lagu  iwan fals kesukaanya. Belum selesai satu lagu dinyanyikan iwan fals, namun lelapnya sore itu menutup hari-harinya yang seolah hanya terus berulang seperti itu.

engkau sarjana muda
 resah mencari kerja
tak berguna ijazahmu
empat tahun lamanya bergelut dengan buku
sia-sia semuanya

namun juga  bukan kisah di lagu ini tentunya yang diinginkan….

Reply to this post

Posting Komentar

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Followers