Balada Pedas Cabe


Saya berharap ada kisah yang bisa saya tulis pada perjalanan mudik kali ini dan kemudian saya post ke blog. Sebab seperti perjalanan-perjalanan sebelumnya, pasti selalu ada sesuatu yang bisa saya ceritakan pada pembaca blog saya. Dua, tiga jam di bersandarkan kursi DALI PRIMA belum juga ada inspirasi untuk menulis. Jalanan porong yang sore itu tertutup banjir lantaran hujan juga tak kunjung memberikan inspirasi saya untuk memulai menulis.
            Akhirnya setelah enam jam berlalu di dalam kendaraan, angin laut pantai utara Jawa menyapa. Tanda sebentar lagi rumah sudah dekat, artinya tidak ada yang bisa saya tulis dalam perjalanan pulang kali ini. Rumah yang berlantai ubin putih tersebut  kini telah benar-benar didepan  mata. Ingin sekali rasanya langsung rebah diatas kasur empuk kamar tidur yang tak setiap bulannya saya jamah. Belum lagi saya menikmati empuknya kasur, seorang saudara mulai membuka percakapan. Mulai tanya kabar, keadaan kuliah , dan ujung-ujungnya pasti pembicaraan kami tak jauh-jauh dari masalah pertanian. Maklum dari sejumlah saudara, hanya dua orang ini yang tertarik menggeluti dunia pertanian. Lebih tepatnya seorang sarjana pertanian dan calon sarjana pertanian. Pembicaraan kami terus bergulir hingga akhirnya kami sampai pada pembahasan harga cabe.
            Ya…benar sekali cabe  atau anak- anak pertanian (baca:batalion pertanian) biasa memanggilnya  Capsicum annuum L. benar-benar menjadi buah bibir akhir-akhir ini, apalagi kalau bukan masalah harganya yang gak pernah bisa diem. Kadang gara-gara saking murahnya, cabe seolah menjadi “komoditas tiri” di dunia pertanian. Namun ketika harga melambung tinggi petani pun bukannya meraih keuntungan besar. Pada saat-saat seperti itu petani justru menjadi konsumen cabe yang malah mengeluh sebab tak bisa menikmati pedas sambal dengan leluasa.
            Harapan yang tinggi mereka semai saat awal musim tanam cabe, namun sekali lagi cuaca yang tidak menentu menjadi penyebabnya. Cabe hanya mampu hidup tak lebih dari dua bulan lantaran kering kekurangan air. Nasib petani Indonesia memang sepedas rasa cabe, nasib jelek yang dialami petani tak melulu gara-gara cuaca. Seolah memancing dalam air keruh, para makelar cabe pun sering kali memain-mainkan harga demi keuntungan mereka sendiri. Saya pernah mengalami sendiri bagaimana rasanya menjadi petani cabe. Dua minggu sebelum panen raya harga cabe masih berada di kisaran Rp 20.000. Namun pada saat panen raya tiba harga cabe sekonyon-konyong berubah tinggal 1.000 rupiah. Kegembiraan petani seketika itu langsung hilang, bahkan untuk sekedar memanen pun mereka enggan. Alhasil puluhan hektar lahan pertanian di desa saya pun seolah menjadi kebun tanaman hias raksasa yang berisi tanaman cabe. Akhirnya nasib ribuan pohon cabe tersebut pun hanya dibiarkan mengering dan kembali ke tanah menjadi pupuk alami. Jangan tanyakan berapa kerugiannya, tanyakan saja mengapa tak ada upaya dari pemerintah untuk melindungi para petani. Yah begitulah nasib petani yang memilih bertanam komoditas Hortikultura (sayur dan buah). Untuk komoditas padi atau dalam hal ini beras pemerintah menerapkan harga dasar dan harga atap, tapi tidak demikian dengan komoditas horti.
            Di akhir percakapan kami, saya mendengar cerita tentang seorang petani cabe di desa seberang yang sedang “merayakan” hasil panennya dengan suasana hati yang serba kalut. Harga cabe minggu ini masih di kisaran Rp 35.000 per kilo. Kabar ini pastinya menjadi sebuah kabar baik bagi semua petani, namun hanya beberapa petani yang bisa merasakan seperti kondisi saat ini. Inilah yang justru membuat petani yang masih memiliki cabe ketar-ketir, bagaimana tidak di masa seperti ini cabe menjadi barang mewah. Alhasil untuk menjaga agar cabenya tidak raib di malam hari petani tersebut harus menyewa dua polisi dan beberapa warga sekitar untuk menjaga lahannya. Kabar terakhir yang saya dengar, hasil panen petani tersebut menghasilkan sebuah mobil panther…..ckckckck. tapi begitulah seharusnya dunia pertanian Indonesia. Cukup di tanah yang sudah tersedia para petani bisa menjadi majikan di negeri sendiri tanpa harus mencari majikan di luar negeri.

           Paciran, 10 April 2011

Reply to this post

Posting Komentar

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Followers