Ku tilang kau dengan Bismillah
Saat itu senja tinggal menyisakan sedikit waktu bagi para pekerja dan mahasiswa untuk lekas tiba di rumah. Seperti hari-hari lain, kemacetan seolah sudah menjadi ritual harian warga kota lebih-lebih saat pagi dan sore hari. Motor yang saya kendarai bersama seseorang sore itu sarat akan muatan. Maklum habis belanja konsumsi untuk kegiatan esok hari.
Praktis jumlah bawaan yang lumayan banyak membuat motor yang saya kendarai tidak bisa leluasa menembus kemacetan sore itu. Namun satu dua motor masih bisa kami lewati
……hingga akhirnya…….
“prrriiiittttttt…..”
Suara peluit pak polisi terdengar sayup ditengah deru motor sore itu.
“selamat sore mas” ujarnya sambil memberi hormat.
“Sore pak,” sahutku.
“helmnya mana mas?”
“mmmmm….nganu pak lupa, lagian juga deket kok pak, ini dari toko seberang mau ke kampus,”sanggahku.
“wes minggir sek ae sampeyan,”perintahnya sambil menunjuk pos pulisi di sudut jalan.
“iya pak,”jawabku sambil tersenyum kecut.
*di pos polisi…….
Seperti yang sudah kami duga sebelumnya….pak pulisi memulai ceramahnya sambil menyiapkan secarik surat tilang.
“Maaf pak tadi keburu-buru”
Pak pulisi pun berceramah dari A-B-C-D sampai J…….
“jadi saya kena berapa pak?”
Pak pulisi melanjutkan ceramahnya dari …….K-L-M-N sampai Z
Aku terplongo-plongo….terpaku dan terpalu mendengarkannya….
Akhirnya tibalah kami pada sesi “lobbying”….
“wes jadi berapa ni pak?,”tawarku
Setelah negosiasi alot akhirnya, pak pulisi mau berbaik hati.
“wes kamu punya berapa wes,”
“ngapuntene pak, tanggal tuwo, sak estu pak….naming niki,”ujarku sambil menunjukkan dompet berisi 15.000. tawar-menawar versi wajah kotak amal.
“yawes lha piye enak e,”
“nggeh niki pak, menawi njenengan kerso,”ucapku sambil menunjukkan sebungkus jagung seharga Rp 5000,-
kulihat malaikat bersayap membisiki pak pulisi….
“yowes kene, besok lagi jangan diulangi ya…”
“nggeh pak” pak pulisi ne tak salami.
***
Itu sih pengalaman saya, tapi sebenarnya seperti apa sih perlakuan yang searusnya diterima para pelaku pelanggar lalu lintas?
Ini dasar hukumnya :
· Tindakan langsung terhadap pelanggaran lalu lintas, yang lazim disebut tilang, adalah salah satu bentuk penindakan pelanggaran lalu lintas yang dilakukan Polri (pasal 260 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan/“UU No. 22/2009”).
· Biaya tilang mengacu pada denda yang ditetapkan dalam UU No. 22/2009. Untuk pelanggaran karena mengemudikan kendaraan bermotor di jalan tanpa dilengkapi Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), dikenakan ancaman pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500 ribu (pasal 288 UU No. 22/2009).
· Berdasarkan Surat Keputusan Kapolri No.Pol: SKEP/443/IV/1998 tentang Buku Petunjuk Teknis Tentang Penggunaan Blanko Tilang, petugas kepolisian akan memberikan tiga opsi kepada pelanggar lalu lintas:
1. Menerima Lembar/Slip Biru, jika pelanggar mengakui telah melakukan pelanggaran lalu lintas. Ini berarti pelanggar akan dikenakan denda maksimal dan membayarnya lewat Bank BRI. Jika pelanggar memilih untuk membayar ke Bank BRI polisi bisa menunjuk petugas khusus atau pelanggar untuk menyetorkan denda ke BRI. BRI kemudian memberikan struk sebagai bukti, lalu pelanggar tinggal datang ke kantor polisi yang ditunjuk petugas penilang. Setelah pelanggar membayar denda dan meminta kembali SIM/STNK yang dititipkannya, lembar biru tersebut dikirim ke Pengadilan Negeri untuk dilaksanakan sidang tanpa kehadiran pelanggar (verstek).
2. Menerima Lembar/Slip Merah bila pelanggar menolak/tidak setuju dengan sangkaan penyidik atau akan hadir sendiri di Sidang Pengadilan dengan menggunakan lembar merah tersebut sebagai surat panggilan untuk menghadiri sidang sesuai dengan waktu yang telah dicantumkan dalam kolom yang tersedia pada lembar tersebut.
3. Memberi uang titipan ke petugas khusus (polisi). Pada opsi ini, pelanggar juga akan diberikan surat tilang Lembar/Slip Biru,. Bedanya dengan opsi 1, pelanggar memberi kuasa kepada polisi untuk hadir di sidang, dan perkaranya akan disidangkan secara verstek. Petugas tersebut akan membayarkan denda yang sudah dititipkan oleh pelanggar ke BRI dan mengirimkan slipnya ke Pengadilan Negeri.
Tapi itulah masalahanya, kebanyakan baik polisi maupun pelanggar lalu lintas lebih memilih “jalan damai”. Jadi uang yang seharusnya masuk ke kas Negara malah masuk ke kantong pribadi polisi. Sebenarnya hal tersbut tidak akan terjadi asalkan polisi tidak menawarkan “jalan damai”. Selain itu peraturan-peraturan diatas juga kurang sosialisasi, jadi para pelanggar umumnya hanya mengetahui jika mereka melanggar lalu lintas hanya ada dua pilihan, sidang di pengadilan atau menempuh “jalan damai”.
2 comments
walaah brarti sampean nyuap yoo mas. ckckck.
yo gak tah zah..iku jenenge nyogok ora nyuap
Posting Komentar