Karena Setiap Hari Adalah 22 Desember


Shogun 125 itu ku parkir rapi di salah satu sudut parkiran rumah sakit. Sambil menemani  kakakku yang sedang menunggu gilirannya untuk diperiksa dokter, sesekali ku buka lembaran koran didepanku. Koran tersebut memang disediakan untuk para pasien yang menunggu  giliran diperiksa.  Tak jelas berita apa yang ku baca pagi itu, tak seberapa penting pula headline yang diangkat hari itu. Maksud sebenarnya dari aku membaca  koran itu adalah agar pandanganku  teralihkan, teralihkan dari sudut dimana terdapat sebuah kamar pasien.
Benar saja, baru beberapa menit aku mencoba mmembaca koran tiba-tiba seorang bapak di sebelahku memulai pembicaraan. Tak panjang pembicaraan kami, namun tanpa kusadari koran itu kini berpindah  ke tangannya. Sekali lagi aku mencoba mengalihkan pandanganku dari kamar itu, namun akhirnya aku terbawa pada suatu kondisi yang benar-benar tak aku inginkan.  Tatapan mataku tajam mengarah ke sudut kamar itu hingga terjerumuslah aku  pada satu ingatan.
Lamunanku pun berkisah  tentang suatu cerita, tapi entah harus ku mulai darimana cerita ini. Yang tertanam kuat dalam ingatanku sampai saat ini adalah tentang isak tangis serta suasana haru yang memenuhi sela-sela ruangan pada suatu siang. Juga tentang seorang anak, seumuran anak SMP yang siang itu didekap erat seorang pria yang belakangan aku tahu mereka adalah anak dan bapak. Dengan sesenggukan pria tadi mencoba menenangkan anaknya walaupun baginya sendiri masih cukup susah untuk sekedar dibilang tabah. Dekapannya kian terasa erat manakala dari mulut sang pria terucap kalimat “sabar nak, ibu memang sudah waktunya” tak pelak lagi kalimat tersebut kian menambah dalam tangisan mereka. Seolah masih tak percaya dengan apa yang terjadi,  anak tesebut kembali menggoyang-goyang tubuh yang sudah terbujur kaku disampingnya. Kain putih yang menutupi seluruh wajah ibunya pun dibuka kembali. Ketidakpercayaannya pun berubah menjadi kerelaan saat seorang saudara mendekap erat tubuhnya sambil membisikkan sesuatu kepada anak tersebut.
Malam sebelumnya memang menjadi malam yang berat bagi sang anak, apalagi bagi anak seumuran dia. Selain harus begadang menghabiskan malam dengan tangisan, dia juga hampir tak percaya ketika seorang saudara memanggilnya masuk ke kamar tempat ibunya dirawat. Sambil mencoba menenangkan adiknya sang kakak membisikkan padanya untuk meminta maaf pada ibu mereka, bukan sekedar minta maaf tapi mungkin  ini permintaan maaf terakhir sebelum mungkin esok hari kondisi ibunya kian memburuk.
Sesosok tubuh lemas dengan tangan yang melepuh lantaran jarum infus yang sudah menempel sejak sebualan terakhir, serta dengan alat bantuan nafas yang masih  terpasang dihidung. Wanita itu hanya mengganggukkan kepala saat anaknya menyampaikan ucapan maafnya. Tangan anak itu kemudian di pegang erat seakan enggan dilepaskannya. Entah siapa yang memulai akhirnya mereka sama-sama menangis. Jemari yang sudah mulai keriput tersebut pun  menjadi basah lantaran tak henti-hentinya sang anak menciumi jari ibunya sambil menangis.
Malam pun kini berubah menjadi pagi dan selanjutnya siang menjemput, jika malam sebelumnya tangan sang ibu masih mampu memegang erat tangan anaknya, kini tangannya mulai membiru begitu juga dengan semua kukunya. Yang terdengar kini hanya hembusan nafas sang ibu yang semakin siang semakin tersengal. Suara tangis dan dua kalimat syahadat yang coba dibisikkan salah satu saudaranya ke telinga sang ibu  beradu di ruangan tersebut. Segala do’a coba dipanjatakan untuk mengantar kepergian sang ibu. Akhirnya manusia memang harus kemballi kepada-Nya. Dua matanya kini benar-benar terkatup dan tak akan terbuka, sepasang telinga tersebut tak akan mampu lagi mendengar rengekan rewel anak-anaknya. Bibirnya tertutup, tak akan ada lagi nasehat tentang kehidupan yang akan keluar darinya. Hingga nanti semua berakhir di pusara dan hanya do’a yang mampu mengobati kerinduan akan dirinya.
*****************

Tepukan tangan saudaraku membuyarkan lamunanku siang itu, sesegera mungkin kupalingkan pandanganku dari ruangan tersebut. Bergegas ku starter motorku, beberapa saat setelah itu rumah sakit tersebut lenyap dari pandanganku. Dan kisah dalam lamunanku tersebut pun kini ikut hilang dalam kepadatan dan suara bising lalu lintas siang itu.
 
Hanya ini yang sanggup kutulis untukmu bunda
Jangan tertawakan, simpan dalam hatimu yang sejuk rimbun akan do’a

Reply to this post

Posting Komentar

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Followers