Pare's Van Java
Sanjaya cafe, 21.48 WIB. Saat musik masih berdentam keras beberapa dari kami sudah mengemasi barang-barang, sedangkan beberapa yang lain masih terlihat asik bermain truth or dare. “ oke rek sekali putaran lagi ya....soale di kosku jam malamnya sampe jam sepuluh” ujar Anggie sambil menyeruput moccachinonya yang hampir habis. Teman-teman cewek yang lain juga mengamini usul cewek berjilbab merah tersebut. Di meja lain terlihat Aji juga sudah menutup laptopnya lalu memasukkannya ke dalam tasnya.
Akhirnya jarum pendek jam menunjuk di angka sepuluh, semua berkumpul di satu meja. Asadi yang dikenal sebagai ketua kelas berdiri dan memulai pembicaraan. “ Terima kasih atas kedatangan teman-teman sekalian dalam acara Farewell Party kelas kita malam ini”. Kami tampak memperhatikan dengan cermat setiap ucapannya. Maklum dibalik keluguan sifatnya, selama ini diantara kami pemuda yang sudah mendapatkan gelar dokter ini dikenal sebagai pemimpin yang bijak. Beberapa kegiatan yang kami lakukan seringkali bermula dari inisiatifnya. “mudah-mudahan pertemuan singkat kita yang hanya sebulan ini tak akan terlupakan dan bermanfaat bagi kita semua” lanjutnya. Acara malam itupun diakhiri dengan saling berjabat tangan, saling tukar nomor Handphone, serta alamat facebook. Akhirnya rombongan kami keluar cafe dan hilang dalam keheningan malam kota Pare.
***
Pagi itu adalah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Pare. Kesan pertama yang kudapat adalah suasana khas pedesaan yang tenang. Suasana pagi di jalan-jalan utama kota yang masuk dalam kabupaten Kediri tersebut cukup lengang, kebanyakan warga berlalu-lalang dijalanan dengan sepeda onthel. Coba bandingkan dengan Malang di waktu yang sama, pagi hari ketika orang-orang memulai aktivitasnya. Aura negatif sudah nampak pada diri mereka, lantaran belum lagi mereka sampai kampus atau kantor tapi sudah disuguhi kemacetan. Kemacetan memang seolah menjadi ritual yang harus dilakoni oleh penduduk kota besar, lebih-lebih ketika pagi dan sore saat jam berangkat dan pulang kerja.
Angin pagi membawa kami masuk ke sebuah desa, gapura desa tersebut seoalah mengucapkan salam pada kami “ welcome in kampoeng inggris”. Yah, memang Desa Tulungrejo Kecamatan Pare sudah lama tersohor di seantero nusantara sebagai kampung yang menjadi sentra pembelajaan bahasa asing terlebih bahasa Inggris. Konon pada awalnya adalah seorang warga pendatang bernama Kalen yang mendirikan lembaga bimbingan bahasa bahasa Inggris pertama kali bernama BEC. Lembaga itu sampai kini pun masih eksis berdiri dan telah menelurkan ribuan lulusan. Kini para lulusannya sudah mendirikan lembaga serupa di Pare. Alhasil bak cendawan di musim Hujan, jumlah lembaga bimbingan bahasa disana kini sudah mencapai puluhan.
Sekilas tampak dari luar, rumah-rumah warga disana seperti rumah-rumah pada umumnya. Namun apabila kita amati secara seksama rumah-rumah tersebut justru adalah tempat lembaga bimbingan bahasa baik Inggris, Jepang, Korea, Mandarin, Arab, bahkan Prancis. Jika melihat kondisi tersebut, Pare memang layak mendapatkan Predikat kampung bahasa.
Namun perjalananku satu bulan kedepan bukan di BEC, The Daffodils lembaga bimbingan bahasa yang terletak pada arah timur laut BEC inilah yang sebulan ini bakal menjadi tempatku menghabiskan liburan semester ganjil kali ini. Lembaga ini lebih berorientasi pada kecakapan berbicara atau speaking. Adalah miss Indah dan dua teman perempuannya yang membidani lahirnya The Daffodils pada tahun 2003. Hingga kini dia masih tetap mendedikasikan hidupnya demi keberlangsungan lambaga tersebut. Hal itu sejalan dengan janjinya bahwa dia akan menghabiskan sisa hidupnya di Pare, mengabdi untuk terus mengamalkan ilmu bahasa Inggrisnya.
“No english, No service !” atau “ Don’t speak Monkey !” itulah ungkapan yang sering tertempel di beberapa pintu lembaga bimbingan bahasa, camp, atau rumah kosan disana. Sebuah himbauan yang membuktikan bahwa bahasa Inggris nampaknya sudah menjadi bahasa kedua setelah bahasa Indonesia atau bahasa Jawa. Sebuah akulturasi budaya yang unik, mengingat penduduk pribumi disana juga terkenal masih kuat menjaga tradisi budaya Jawa. Himbauan-himbauan tersebut tampaknya bukan merupakan pepesan kosong belaka, keseharian di camp yang kami tempati memang sebisa mungkin menggunakan bahasa Inggris, walaupun memang gado-gado.
Sekarang giliran suasana malam disana yang coba ku deskripsikan. Suasana yang jarang kutemui sebelumnya. Setiap teras rumah disana menyuguhkan pemandangan yang unik, kumpulan siswa yang sedang belajar ataupun sekedar berdiskusi tentunya menggunakan bahasa Inggris. Kesan pertama memang agak aneh, namun perlahan kami mulai terbiasa dengan pemandangan tersebut. Pasalnya di hari-hari berikutnya kami pun menjadi bagian dari pemandangan tersebut.
Usai mengamati secara keseluruhan tiap sudut desa tersebut, kami putuskan untuk sejenak mengisi perut. Sebuah gerobak tua yang terparkir rapi di sisi jalan menarik mata kami untuk sejenak berhenti. “Nasi goreng enam pak” pesanku sambil memegangi perut yang sedari siang belum terisi. “Nggeh mas...monggo pinarak ten mriku riyen“ sahut bapak bertopi merah sembari menunjuk ke teras suatu rumah yang belakangan ku tahu bahwa rumah itu adalah juga lembaga bimbingan bahasa. Menu nasi goreng lauk telor dengan cepat kami lahap habis tak lebih dari sepuluh menit. Masing-masing dari kami mulai mengeluarkan dompet, dalam benak kami nasi goreng tersebut minimal berharga lima ribu. Namun betapa kagetnya kami ketika kami menyodorkan selembar uang bergambar Tuanku Imam Bonjol, ternyata bapak tersebut memberi kami kembalian selembar uang berwarna biru bergambar Pattimura dan uang koin lima ratusan. Nasi goreng pake telor harganya 3500??. Segera hal tersebut menjadi topik pembicaraan kami saat kami berjalan pulang.
Sepulang makan kami berpapasan dengan rombongan orang-orang yang mengendarai sepeda onthel. Siswa-siswa yang mengikuti program disana memang kebanyakan pulang pergi menggunakan sepeda onthel. Andai kata sepeda motor yang kami tumpangi bisa berbicara tentu saja mereka akan bilang kalau mereka malu sebab mereka bersuara keras ditengah laju kalem rombongan sepeda onthel. Laju sepeda onthel seolah menjadi dasar filosofi kehidupan warga setempt “alon-alon sing penting kelakon”. Kehidupan desa yang harmonis, seirama dengan kehendak alam.
Farewell Party,,,,,, |
suweeee...... |
jeprat-jepret...di sela-sela final exam... |
Secuil kisah tentang Pare....
Sebulan sudah berlalu, cepat tanpa terasa.....
Terimakasih untuk sejuk udara pedesaanmu....
Terimakasih untuk murah makananmu....
Terimakasih untuk lugu gadis kampungmu..
Terimakasih untuk ramah warga desamu....
Pare , februari 2011
Reply to this post
Posting Komentar