Gerobak dorong itu bernama bus
Sore, di antara kabut polusi porong...
Kulinting-linting bulu jenggotku sekedar mencoba mengusir kebosanan, dua bus sebelumnya memang sengaja kulewatkan. Maklum RESTU dan TENTREM itu kulihat sarat penumpang, dua gadis di sampingku yang sejak tadi juga menunggu kedatangan bus pun terlihat enggan mengiyakan rayuan kondektur. Hampir setengah jam sudah aku menunggu, bisa dikatakan hampir semua sela-sela jenggot kini sudah terjamah ujung jari. Tapi selalu setiap ku intip ke dalam bus terlihat beberapa penumpang sudah bergelantungan menandakan sudah tak ada lagi tempat untuk penumpang baru. Namun masih sama dengan kondektur-kondektur sebelumnya, setiap kali melihat ada antrian penumpang mereka akan berteriak “kosong....kosong...lungguh...lungguh...”.
Tuhan memberikan kesabaran pada manusia sebenarnya tanpa batas, hanya manusia sendiri lah yang membatasinya. Sore itu aku sendiri yang membatasi kesabaranku, sebab kulihat waktu di handphone butut ku sudah menunjukkan pukul 16.53 WIB. Rasanya selama apapun aku menunggu pasti tak akan ada bus yang longgar maklum hari itu hari minggu. Hari dimana para pekerja dan mahasiswa mengakhiri libur akhir pekan mereka. “Malang mas....malang....kosong....lungguh.....” teriak seorang kondektur terdengar dari kejauhan. Padahal kulihat bus ini juga tak jauh berbeda dengan bus-bus sebelumnya. Akhirnya dengan terpaksa kulangkahkan kakiku naik keatas bus tersebut, yah memang sesuai dengan perkiraanku sebelumnya. Untuk sekedar menjejalkan kaki saja rasanya sulit. “Mas sing malang geser nengah ae mas.....” seru si kondektur dengan pengucapan konsonan “L” nya yang tebal. Mudah dikenal dari logat bicaranya dia adalah salah seorang dari salah satu suku di pulau seberang sana.
. Tak pandang besar, kecil, tua, muda bahkan mungkin pencopet semua berjejal jadi satu. Belum lagi sejumlah pedagang asongan dan pengamen yang tetap mencoba menerobos sesaknya barisan penumapang. Dalam kondisi seperti ini asas unggah-ungguh dan tenggang rasa memang sudah tidak berlaku lagi. Seorang pemuda yang dari perawakannya ku yakin adalah seorang mahasiswa terlihat duduk dengan tenang. Padahal di dekatnya bapak tua yang tak kebagian tempat duduk memanggul tas sarat barang bawaan terlihat komat-kamit sambil mengomentari si kondektur yang terus memaksakan untuk mengangkut penumpang. Entahlah, lagipula hari itu mungkin si mahasiswa mencoba menerapkan peribahasa hasil belajarnya di perkuliahan. Sebuah peribahasa yang mengatakan “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung” dimanapun kita hidup kita harus menjunjung tinggi adat setempat. Jangan lupa kita di Indonesia, adat yang berlaku di negeri ini adalah siapa cepat dia dapat tanpa memandang orang sekitar, yang penting kenyang dan tenang.
Yah begitulah gambaran secuil tentang moda transportasi di negerinya si unyil ini, kalau dirunut mengapa kemacetan sampai terjadi dimana-mana salah satunya adalah karena kekurangpuasan pengguna angkutan umum terhadap pelayanan yang diberikan oleh pengelola jasa angkutan umum. Ujung-ujungnya masyarakat lebih memilih untuk memiliki kendaraan pribadi. Pernah kubaca dari koran bekas bungkus nasi goreng yang kubeli, bahwa sebuah produsen sepeda motor di Surabaya bisa menjual rata-rata sekitar 1600 unit sepeda tiap harinya dan andai saja semua motor tersebut dijejer bisa mencapai....Km. Logika bodohnya seperti ini, kita asumsikan saja satu sepeda motor mempunyai panjang 1,75 meter kalikan saja dengan 1600. Itu baru satu produsen, belum produsen lain. Itu baru di Surabaya bagaimana dengan kota lain?????Padahal penambahan jalan di negri ini berabanding terbalik dengan pertumbuhan sepeda motor. Ah tidak usah jauh-jauh, lihat saja di kampus kita setiap sore jam pulang kerja tak jarang juga terjadi antrian kendaraan, tentu saja ironis karena hal itu terjadi di dalam kampus.
Bus terus melaju, tentu saja dengan ugal-ugalan. Semakin mendekati kota malang penumpang juga semakin berjubel. Secara naluri manusia memang aku ingin protes, tapi semua yang ada di bus tersebut juga manusia yang butuh makan. Supir dan kondektur tak akan memaksakan mengangkut penumpang andai saja mereka tidak dikejar setoran. Pengasong dan pengamen tak akan mungkin rela berjejal-jejalan diatas bus andai saja mereka tak punya anak yang esok pagi harus berangkat sekolah. Pencopet tak akan mungkin tega merogoh kocek para penumpang lain andai biaya persalinan istrinya di rumah sakit bisa dijangkau.
Arjosari 19.12 WIB, semua lamunanku seolah terhenti ketika bus mengerem mendadak. Para penumpang berebut turun, tak kuat rasanya berlama-lama di dalam bus tersebut. Beberapa langkah menjauh dari bus, langkahku terhenti sejenak. Seingatku sejak aku naik di Porong tadi pak kondektur tak pernah mengahampiriku untuk menarik uang karcis. Namun belum sempat aku membalikkan badan, bus yang kutumpangi tadi sudah melaju kencang menuju garasi terminal. Sambil tersenyum kecut memandangi bus yang kini hanya terlihat pantatnya saja aku hanya berdo’a mudah-mudahan uang setoran mereka cukup, serta anak mereka besok pagi masih bisa berangkat sekolah. Amiiiin.....
Reply to this post
Posting Komentar