CORETAN KECIL UNTUK SANG JUARA
Jalanan kota malang siang itu di-biru-kan oleh lautan manusia , Aremania tumpah ruah di hampir semua jalanan dikota apel tersebut. Semua golongan usia dan jenis kelamin jadi satu dalam sebuah rasa kegembiraan dan kebanggaan. Maklum malam sebelumnya arema sukses membungkam persija jakarta dengan skor telak 5-1 sekaligus menahbiskan dirinya sebagai kampiun Indonesian Super Ligue. Selain lagu-lagu dukungan terhadap tim pujaan, kelompok suporter yang terkenal fanatik tersebut juga melantunkan syair-syair ejekan terhadap rival abadi mereka, PERSEBAYA. Beriringan dengan deru mesin sepeda motor dan suara klakson yang saling bersahutan, terdengar jelas potongan nyanyian mereka.......”bonek JANCOK dibunuh saja”.
Rasa puas tergambar dari raut wajah mereka ketika syair tersebut diulang-ulang sebagai bentuk kebencian mereka terhadap kelompok suporter PERSEBAYA tersebut. Diantara ratusan aremania tersebut tak sedikit juga bapak-bapak yang mengajak serta anaknya. Salah satunya adalah bondet, bocah ingusan anak seorang calo tiket pertandingan yang biasa mangkal di satadion kanjuruhan. Walaupun pelafalan kata-katanya masih terdengar cadel, namun anak yang umurnya belum genap 6 tahun itu terlihat fasih mengucapkan kalimat-kalimat pisuhan terhadap bonek. Tak jelas apa yang dirasakannya setelah mengucapkan kalimat-kalimat tersebut, yang jelas ucapan-ucapan tersebut seolah menjadi sebuah hal yang lumrah dan wajar, pasalnya hampir setiap pertandingan arema di stadion ia tak pernah absen menonton. Dan sesering itulah di otaknya terekam sebuah bentuk kebencian terhadap bonek yang dia sendiri tak tahu sebab dan asal mula kebencian tersebut.
Kalau kita mendengar kata PERSEBAYA dan AREMA, yang terlintas di benak kita adalah sebuah bentuk rivalitas tanpa batas yang lebih menjurus pada kebencian. Persaingan tidak hanya di atas lapangan tapi juga di luar lapangan. Lihat saja bagaimana perselisihan aremania dan bonek mania, bahkan beberapa kali memakan korban jiwa. Perselisihan tersebut seolah-olah semakin meruncing ketika sekarang ada semacam kubu besar. Paling tidak di pulau jawa saat ini terhadap dua blok kelompok supporter yang saling berselisih. AREMANIA dengan LA MANIA, JACK MANIA, serta PASOEPATI. Sedangkan blok lainnya adalah BONEK MANIA dengan SAKERA serta VIKING. Tak jarang ketika dua kelompok suporter yang bersingggungan tersebut bertemu di jalan menimbulkan kerusuhan yang sering kali memakan korban baik dari kelompok yang bersetru maupun dari warga sekitar yang sebenarnya tak pernah tahu duduk permasalahnnya seperti apa. Ambil saja contoh ketika beberapa waktu lalu di kota solo ketika bonek mania melintas menuju Bandung. Beberapa warga sipil terkena lemparan batu nyasar yang berasal dari perang batu antara BONEK dan PASOEPATI.
Andai ditanya siapa yang salah dalam konflik ini kedua belah pihak tentunya akan berebutan mengklaim bahwa pihak merekalah yang benar, sebab jika dirunut sejak kapan masalah ini terjadi tak akan ada yang tahu. Yang jelas konflik ini berasal dari amarah yang terbungkus fanatisme kedaerahan yang berlebih. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut pasti masih banyak bondet-bondet kecil lain di luar sana yang suatu saat nanti menjadi bibit-bibit baru permusuhan antar suporter di indonesia. Bukankah sepak bola adalah bahasa universal yang berfungsi sebagai pemersatu diantara kita?juga bukankah sepak bola tidak cuma sekedar keringat dan hasil akhir tapi juga sportivitas?sekarang rasanya memang sudah mustahil mengandalkan kemajuan sepak bola nasional hanya dari PSSI, mengingat kinerja PSSI tak kunjung membaik. Untuk itu alangkah baiknya jika mulai dengan menjadi supoter yang bijak, termasuk tidak mencetak bondet-bondet baru di negeri ini. SEMOGA....
Rasa puas tergambar dari raut wajah mereka ketika syair tersebut diulang-ulang sebagai bentuk kebencian mereka terhadap kelompok suporter PERSEBAYA tersebut. Diantara ratusan aremania tersebut tak sedikit juga bapak-bapak yang mengajak serta anaknya. Salah satunya adalah bondet, bocah ingusan anak seorang calo tiket pertandingan yang biasa mangkal di satadion kanjuruhan. Walaupun pelafalan kata-katanya masih terdengar cadel, namun anak yang umurnya belum genap 6 tahun itu terlihat fasih mengucapkan kalimat-kalimat pisuhan terhadap bonek. Tak jelas apa yang dirasakannya setelah mengucapkan kalimat-kalimat tersebut, yang jelas ucapan-ucapan tersebut seolah menjadi sebuah hal yang lumrah dan wajar, pasalnya hampir setiap pertandingan arema di stadion ia tak pernah absen menonton. Dan sesering itulah di otaknya terekam sebuah bentuk kebencian terhadap bonek yang dia sendiri tak tahu sebab dan asal mula kebencian tersebut.
Kalau kita mendengar kata PERSEBAYA dan AREMA, yang terlintas di benak kita adalah sebuah bentuk rivalitas tanpa batas yang lebih menjurus pada kebencian. Persaingan tidak hanya di atas lapangan tapi juga di luar lapangan. Lihat saja bagaimana perselisihan aremania dan bonek mania, bahkan beberapa kali memakan korban jiwa. Perselisihan tersebut seolah-olah semakin meruncing ketika sekarang ada semacam kubu besar. Paling tidak di pulau jawa saat ini terhadap dua blok kelompok supporter yang saling berselisih. AREMANIA dengan LA MANIA, JACK MANIA, serta PASOEPATI. Sedangkan blok lainnya adalah BONEK MANIA dengan SAKERA serta VIKING. Tak jarang ketika dua kelompok suporter yang bersingggungan tersebut bertemu di jalan menimbulkan kerusuhan yang sering kali memakan korban baik dari kelompok yang bersetru maupun dari warga sekitar yang sebenarnya tak pernah tahu duduk permasalahnnya seperti apa. Ambil saja contoh ketika beberapa waktu lalu di kota solo ketika bonek mania melintas menuju Bandung. Beberapa warga sipil terkena lemparan batu nyasar yang berasal dari perang batu antara BONEK dan PASOEPATI.
Andai ditanya siapa yang salah dalam konflik ini kedua belah pihak tentunya akan berebutan mengklaim bahwa pihak merekalah yang benar, sebab jika dirunut sejak kapan masalah ini terjadi tak akan ada yang tahu. Yang jelas konflik ini berasal dari amarah yang terbungkus fanatisme kedaerahan yang berlebih. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut pasti masih banyak bondet-bondet kecil lain di luar sana yang suatu saat nanti menjadi bibit-bibit baru permusuhan antar suporter di indonesia. Bukankah sepak bola adalah bahasa universal yang berfungsi sebagai pemersatu diantara kita?juga bukankah sepak bola tidak cuma sekedar keringat dan hasil akhir tapi juga sportivitas?sekarang rasanya memang sudah mustahil mengandalkan kemajuan sepak bola nasional hanya dari PSSI, mengingat kinerja PSSI tak kunjung membaik. Untuk itu alangkah baiknya jika mulai dengan menjadi supoter yang bijak, termasuk tidak mencetak bondet-bondet baru di negeri ini. SEMOGA....
Reply to this post
Posting Komentar